ABSTRAK
Latar belakang peningkatan kapasitas iptek dibidang produk prostesa ini adalah: kurangnya
pemanfaatan teknologi dalam perancangan dan produksi produk prostesa kaki dan tangan,
pesatnya pemanfaatan dan perkembangan teknologi CAD/CAM/CAE dan otomasi sistem
manufaktur, serta keinginan untuk menumbuhkembangkan unit usaha baru berbasis teknologi
yang mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kegiatan pengembangan produk dan proses pembuatan prostesa ini merupakan riset
kemitraan antara Kelompok Keahlian Sistem Manufaktur-ITB, Jurusan Teknik Industri FT-UNS
sebagai lembaga litbang, dan instalasi Ortotik dan Prostetik-Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR. R.
Soeharso sebagai industri kesehatan. Tujuannya adalah peningkatan kapasitas iptek dibidang
produk prostesa, meliputi inovasi di bidang teknologi desain, teknologi proses dan teknologi
produk/komponen untuk prostesa kaki dan tangan.
Metodologi penelitian dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu: (i) tahap pengembangan
teknologi desain, (ii) tahap perbaikan teknologi produksi dan (iii) tahap pengembangan produk
prostesa yang meliputi penyempurnaan komponen prostesa kaki dan tangan dengan
menggunakan pendekatan perancangan secara umum dan juga pendekatan reverse engineering.
Hasil penelitian pengembangan produk prostesa meliputi: (i) pengembangan teknologi desain
prostesa berupa sistem CAD/CAM/CAE untuk prostesa, (ii) pengembangan sistem dan teknologi
proses produksi prostesa serta (iii) pengembangan teknologi produk prostesa.
Untuk tahun pertama, tujuan penilitian ini adalah: Otomasi proses desain prostesa kaki dan
tangan yang memanfaatkan teknologi CAD/CAM dalam bentuk computer aided engineeringprosthesis
(CAE-Prosthesis), yang ditujukan untuk mendapatkan desain prostesa kaki dan tangan
yang baik (accuracy, reproducibility dan simplicity), serta menurunkan waktu proses
perancangan/penyesuaian. Hasil yang telah dicapai pada tahun pertama ini adalah: model
berjalan, parameter segmen tubuh, model parameter antropometrik, biomekanika tubuh, serta
objek desain prostesa yaitu prostesa kaki endoskeltal di bawah lutut. Kesemua itu telah
direalisasikan dalam bentuk prototipe pertama sistem CAD/CAM/CAE untuk prostesa. Dengan
sistem ini serta menggunakan contoh produk prostesa, hal yang masih harus dilaksanakan adalah
mendapatkan parameter prostesa, melaksanakan analisis teknis, fungsi, dan estetika, sebagai
bahan awal untuk masuk ke tahap perbaikan teknologi produksi.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso (RSOS), Surakarta merupakan rumah sakit
yang di bangun di atas tanah seluas 103.000 m2 di Kelurahan Pabelan, Kabupaten Sukoharjo.
Bangunan rumah sakit seluruhnya sebanyak 6 ruangan bangsal rawat inap dengan kapasitas
tempat tidur sebanyak 187 buah. Sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional di bidang
kedokteran ortopedi, RSOS berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan khusus untuk penderita
penyakit dan cacat ortopedi yang diakibatkan oleh penyakit, kecelakaan dan pembawaan sejak
lahir. Rumah sakit ini memiliki Pelayanan Spesialis yang terdiri dari: Spesialis Ortopedi (6 dokter
ahli), Spesialis Gigi dan Mulut (5 dokter ahli), Spesialis Syaraf (1 dokter ahli), Spesialis Anastesi
(3 dokter ahli), Spesialis Rehabilitasi (2 dokter ahli), Spesialis Radiologi (1 dokter ahli), Spesialis
Kesehatan (2 dokter ahli), Dokter Umum (4 orang). Seluruh dokter tersebut dibantu oleh 179
paramedis keperawatan, 99 paramedis non keperawatan serta 191 tenaga non medis.
Berkaitan dengan spesialisasi pada bidang ortopedi, RSOS memiliki Instalasi Ortotik dan
Prostetik, yang merupakan pelopor unit produksi dalam pembuatan ortosa dan prostesa di
Indonesia. Prostesa (prosthesis) merupakan alat pengganti anggota gerak yang berfungsi sebagai
pengganti anggota gerak yang hilang baik dikarenakan oleh amputasi, cacat sejak lahir atau
dikarenakan suatu penyakit. Dengan prostesa diharapkan anggota gerak penderita dapat
dilengkapi dan berfungsi untuk dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Sedangkan ortosa
(orthosis) merupakan alat bantu pada anggota tubuh yang lemah/kurang sempurna, sehingga
digunakan untuk membantu pasien dalam aktivitasnya sehari-hari ataupun sebagai pembantu
penyembuhan.
Instalasi Ortotik dan Prostetik RSOS merupakan sistem produksi (industri) manufaktur
yang memproduksi berbagai jenis ortosa dan prostesa. Produk yang di produksi oleh Instalasi
Ortotik dan Prostetik adalah: Prostesa Jari, Cock Up Splint, Cervical Collar, Corset Lengan Atas
dan Bawah, Boston Brace, Extension Brace, TLSO (Thoraco-Lumbo-Sacral Orthosis), Dennis
Brown Splint, Sepatu Ortopedi (kecil, sedang, besar), Back Splint, Short Leg Brace, Toe-raising
Brace Besi dan Dural, PTB Brace, Prosthesis Dress Hand, Prostesa Bawah Siku, Prostesa Bawah
Lutut PTB, Knee Brace Besi dan Dural, Long Leg Brace Besi dan Dural, Prostesa Atas Siku
Kosmetik, Prosthesis Syme, Prostesa Atas Lutut, Prostesa Bawah Lutut Konvensional, Prostesa
Tengah Lutut, Prosthesis Telting Table, Millwouke Brace. Proses pembuatan ortosa dan prostesa
tersebut meliputi: pembuatan komponen, perakitan, finishing, dan fitting, yang merupakan
aktivitas sistem dan proses produksi manufaktur, yang melibatkan pembuatan komponen
mekanik dan non-mekanik dengan material logam dan non-logam.
Selama kurun tahun 2004 sampai dengan 2005, jumlah permintaan berbagai ortosa dan
prostesa yang diproduksi Instalasi Ortotik dan Prostetik RSOS rata-rata sebanyak 61 unit per
bulan (Sumber: RSOS, 2006). Sejauh ini prostesa masih berfungsi sebagai kosmetik dan alat
bantu aktifitas sehari-hari, yaitu agar penampilan sehari-hari pemakai mendekati sempurna.
Prostesa yang diproduksi belum sepenuhnya untuk menjalankan fungsi anggota tubuh yang
hilang.
Berdasarkan kajian pada penelitian Damayanti (2003), Anggiasari (2003), Setyaningrum
(2006) dan Khrisna (2006), proses pembuatan prostesa di Instalasi Ortotik dan Prostetik RSOS
masih sangat sederhana, yaitu berbasis handycrafting dan menggunakan teknologi proses
manufaktur konvensional. Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini adalah lamanya waktu
penyesuaian (perbaikan prostesa) sebelum pemakai merasa sesuai dengan prostesa yang dibuat.
Di sisi lain, saat ini teknologi modern berbasis teknologi komputer dan kontrol telah
memungkinkan untuk dimanfaatkan pada proses perancangan dan pembuatan produk dan
komponen prostesa. Teknologi ini dapat meningkatkan ketepatan (accuracy), keterulangan3
pembuatan (reproducibility), dan kesederhanaan (simplicity) proses penyesuaian, sehingga dapat
memperbaiki rancangan (design), kenyamanan (comfort), pembuatan (fabrication), dan
penyesuaian (alignment) produk/komponen prostesa (Smith & Burgess, 2001). Sementara itu,
harga produk/komponen prostesa impor berkisar sekitar 4 sampai dengan 8 kali harga
produk/komponen RSOS. Harga impor tersebut pada kisaran ratusan-ribu sampai jutaan rupiah
(Sumber: Hasil pengolahan data RSOS, 2006).
Berdasarkan kondisi di atas, sudah saatnya Indonesia meningkatkan teknologi di bidang
desain dan pembuatan ortosa dan prostesa, melalui upaya peningkatan potensi adopsi, adaptasi,
dan pengembangan teknologi di Instalasi Ortotik dan Prostetik RSOS Surakarta sebagai rujukan
nasional. Dengan peningkatan penguasaan teknologi di bidang desain dan pembuatan ortosa dan
prostesa ini, diharapkan akan dihasilkan rancangan produk dan proses, serta dihasilkan
produk/komponen ortosa dan prostesa, yang kemudian dapat melahirkan industri ortosa dan
prostesa di Indonesia.
Tantangan dalam penelitian ini adalah rancangan produk/komponen baru, rancangan
proses desain dan proses produksi yang sesuai, pemilihan material, dan prosedur penyesuaian
untuk prostesa kaki dan prostesa tangan. Rancangan diarahkan pada pemanfaatan teknologi
komputer dan kontrol, yaitu sistem computer aided design/computer aided manufacturing
(CAD/CAM) serta sistem mikrokontroler.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Gait Cycle
Berjalan merupakan suatu rangkaian dari gait cycle, dimana satu gait cycle dikenal dengan
sebutan langkah (stride). Blaya (2000), mendifinisikan single gait cycle sebagai suatu periode
dimana salah satu kaki mengenai landasan (ground), mengayun, dan kaki tersebut kembali
mengenai landasan. Gambar 2.1 menunjukkan pembagian gait cycle menurut Perry tahun 1992
(Blaya, 2000).
Gait cycle terdiri dari 2 periode, yaitu periode berdiri (stance) dimana anggota badan (kaki)
mengenai landasan, dan periode mengayun (swing) dimana anggota badan tidak mengenai
landasan. Gait cycle dibagi kedalam delapan fase yang memiliki tiga tugas fungsional anggota
tubuh tersebut: weight acceptance (WA), single limb support (SLS), dan limb advancement (LA).
Weight acceptance yaitu tugas fungsional anggota badan dalam menerima beban badan
keseluruhan pada saat berjalan, melakukan penyerapan goncangan saat berjalan dari gaya jatuhbebas
tubuh, stabilisasi awal dalam periode berdiri dan memelihara momentum forward
progression. Tugas tersebut terdiri dari 2 fase pada gait cycle, yaitu initial contact/heel strike
(HS) dan loading response/foot flat (FF). Periode berdiri diikuti dengan pendukung anggota
tubuh tunggal (single limb support/SLS), terdiri dari fase midstance, dan fase terminal stance.
Selama melakukan tugas weight acceptance, anggota badan berdiri dengan tanggung-jawab total
untuk menahan berat tubuh sementara anggota tubuh lainnya berada pada periode mengayun.
Tugas fungsional ketiga yaitu limb advancement, dimana terdapat empat fase yang berperan pada
limb advancement: terminal stance, preswing, initial swing, midswing, dan terminal swing. LA
dimulai pada akhir periode berdiri, dimana selama fase tersebut anggota badan melakukan
advancement untuk mempersiapkan fase berikutnya. Fase preswing melakukan sekaligus dua
tugas, yaitu tugas fungsional single limb support dan limb advancement (Perry (1992) dalam
(Blaya, 2000)).
Gambar 2.1. Pembagian gait cycle Perry
(Blaya, 2000).
5
II.1.1. Pemrosesan Urutan Gait Cycle
Vaughan (1999) menyatakan bahwa cara berjalan manusia merupakan penggambaran dari
pendekatan top-down. Pada awal terjadinya proses gait, sebagai syaraf impuls yang terjadi
didalam central nervous system (anggota tubuh bagian atas yaitu kepala) diakhiri dengan
pembangkitan ground reaction forces (GRF) (anggota tubuh bagian bawah yaitu kaki).
Interaksi antara sistem syaraf pusat, sistem syaraf tubuh, dan musculoskeletal effector
system dapat dilihat pada Gambar 2.2. Karakteristik dari pendekatan tersebut berdasarkan pada
sebab-akibat, dimana ketika otot-otot diaktifkan akan membangkitkan gaya-gaya dan momenmomen
yang saling berkaitan untuk mengeksekusi perintah sistem syaraf pusat (central nervous
system), gaya-gaya dan momen yang terjadi mengakibatkan munculnya GRF pada kaki.
Gaya gabungan dan momen-momen menyebabkan rigid link segment (paha, betis, kaki, dan
lain-lainya) memindahkan dan menghasilkan gaya pada lingkungan luar. Berikut adalah interaksi
antar urutan gait cycle dalam berjalan (Vaughan, 1999), yaitu:
1. Registrasi dan aktivasi perintah berjalan oleh sistem syaraf pusat (central nervous
System).
2. Perpindahan sinyal berjalan sistem syaraf tubuh (peripheral nervous system).
3. Kontraksi otot-otot yang dapat menghasilkan denyut tubuh (tension).
4. Pembangkitan gaya dan momen dalam synovial joints.
5. Pengaturan gaya dan momen gabungan oleh rigid link segment berdasarkan antropometri
tubuh.
6. Perpindahan (gerakan) dari segmen-segmen untuk mengenalinya sebagai fungsi dari
berjalan.
7. Pembangkitan ground reaction forces (GRF).
Gambar 2.2. Interaksi antara sistem syaraf pusat, sistem syaraf tubuh, dan
musculoskeletal effector system (Vaughan, 1999).
6
II.1.2. Fase Gait Cycle
Berkaitan dengan waktu, gait cycle pada setiap fase memiliki persentase waktu tertentu.
Vaughan (1999), menganalogikan siklus cara orang berjalan dengan gerak putar roda. Dengan
menggambar siklus pola gerakan roda tersebut, maka titik awal roda akan berputar berulan-ulang,
langkah demi langkah. Dalam persentase waktu siklus berjalan, 60% dilakukan pada periode
berdiri (stance) dan 40% pada periode berayun (swing). Persentase siklus pola jalan diperlihatkan
pada Gambar 2.3.
Berikut ini adalah masing-masing fase gait cycle (Swilling, 2005), yaitu :
1. Initial Contact/Heel Strike (HO)
Awal dari cara siklus berjalan adalah koneksi awal (initial contact/heel strike). Sesaat
kaki mengenai landasan, engkel berada dalam posisi normal, dan lutut dalam keadaan
tertutup atau kaki lurus. Heal Strike (calcaneous) merupakan tulang pertama yang
menyentuh landasan, lihat gambar 2.4. Kaki kanan (Merah) sebagai HS, sedangkan kaki
kiri (biru) berada pada fase terminal stance/heel off (HO).
2. Loading Response (Foot Flat)
Fase loading response terjadi pada persentase waktu sekitar 10% dari siklus berjalan, dan
sebagai awal dari periode double support-I. Selama fase during loading response, kaki
Gambar 2.3. Persentase siklus pola jalan (Swilling, 2005)
Gambar 2.4. Fase Initial Contact
7
melakukan kontak sepenuhnya dengan landasan dan dalam keadaan rata (foot flat/FF)
dengan landasan (lihat kaki warna merah), dan berat badan secara penuh di pindahkan
kepada kaki kanan (merah), sedangkan kaki lainnya berada pada fase pre-swing, seperti
ditunjukkan oleh Gambar 2.5.
3. Midstance
Fase midstance terjadi pada periode persentase waktu siklus berjalan pada 10-30%.
Dimulai pada saat heel sesaat sebelum meninggalkan landasan sehingga kaki berada
sejajar dengan kaki bawah bagian depan. Bersamaan pada fase ini, terjadi perpindahan
berat oleh kaki pada periode stance (kaki kanan = warna merah), sedangkan kaki lainnya
(kaki kiri = warna biru) berada fase mid-swing (lihat Gambar 2.6).
4. Terminal Stance (Heel Off)
Fase terminal stance pada saat heel kaki kanan (merah) meninggi (mulai meniggalkan
landasan) dan dilanjutkan sampai dengan heel dari kaki biru mulai mengenai landasan,
seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.7. Fase terminal stance disebut juga dengan fase heel
off karena heel kaki pada periode stance tidak mengenai landasan. Fase ini terjadi pada
periode waktu siklus berjalan 30-50%, berat badan dipindahkan dan bertumpu ke bagian
bawah kaki depan (toe).
Gambar 2.5. Fase Loading Response
Gambar 2.6. Fase Midstance
8
5. Pre-Swing (Toe-Off)
Fase pre-swing dimulai dengan fase initial contact (heel strike) oleh kaki kiri (biru), dan
kaki kanan (merah) berada posisi meninggalkan landasan untuk melakukan periode
mengayun (toe-off), seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.8. Periode waktu pre-swing terjadi
pada persentase waktu siklus berjalan 50-62%, dan mulai terjadi pelepasan berat tubuh
oleh kaki yang bersangkutan.
6. Initial Swing (Acceleration)
Fase swing merupakan fase dimana kaki tidak berada di landasan atau pada posisi
berayun. Fase swing terdiri dari tiga fase, yaitu: Initial swing, mid-swing, dan terminal
swing. Fase keenam merupakan fase initial swing, dimana kaki mulai melakukan ayunan,
persentase initial swing adalah 62-75% dari periode waktu siklus berjalan. Fase initial
swing dimulai pada saat telapak kaki kanan (merah) mulai diangkat dari posisi landasan
(toe off), sedangkan kaki kiri (biru) berada pada posisi midstance, seperti ditunjukkan oleh
Gambar 2.9.
Gambar 2.7. Fase Terminal Stance
Gambar 2.8. Fase Pre-Swing
9
7. Mid-Swing
Gambar 2.10 menunjukkan Fase mid-swing yang dimulai pada akhir initial swing dan
dilanjutkan sampai kaki merah mengayun maju berada di depan anggota badan sebelum
mengenai landasan. Fase mid-swing terjadi pada periode waktu siklus berjalan 75-85%,
dimana kaki kiri (biru) berada pada fase terminal stance. Pada fase ini juga terjadi gerak
perpanjangan tungkai kaki dalam persiapan melakukan fase heel strike..
8. Terminal Swing (Decceleration)
Fase terminal swing merupakan akhir dari gait cycle, terjadi pada periode waktu siklus
berjalan 85-100%. Fase terminal swing dimulai pada saat akhir dari fase mid-swing,
dimana tungkai kaki mengalami perpanjangan maksimum dan berhenti pada saat heel
telapak kaki kanan (merah) mulai mengenai landasan. Pada periode ini, posisi kaki kanan
(merah) berada kembali berada depan anggota badan, seperti pada posisi awal gait cycle,
seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.11.
Gambar 2.9. Fase Initial Swing
Gambar 2.10. Fase Mid-Swing
10
II.2. Analisis Gerakan Manusia
Gait Analisys merupakan alat yang berguna untuk menggambarkan secara kuantitatif setiap
gerakan manusia (Vaughan, 1999). Dalam melakukan analisis gerakan manusia dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, biomekanika dan kinesiologi (Hamill & Knutzen, 1995), seperti
ditunjukkan oleh Gambar 2.12. Pendekatan kinesiologi merupakan pendekatan analisis gerakan
manusia secara kualitatif karena gerakan manusia ditentukan berdasarkan sumber dan
karakteristik gerakan dari fungsi anatomi.
Dalam penelitian ini, dilakukan dengan pendekatan biomekanik. Hamill & Knutzen
(1995) mendefinisikan biomekanika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang
memanfaatkan hukum-hukum fisika dan konsep-konsep kerekayasaan untuk mempelajari
gerakan yang dilakukan oleh parameter segmen tubuh dan gaya reaksi pada bagian tubuh selama
aktivitas normal.
Gerak kinematik berkaitan erat dengan karakteristik gerakan tanpa mengacu kepada gaya
yang menghasilkan gerakan. Komponen gerak kinematik yaitu posisi, kecepatan, dan percepatan.
Contoh gerak linear kinematik yaitu proses melangkah, melompat, dan lain-lain. Sedangkan
gerak angular kinematik misalnya, mengayun untuk memukul bola golf, menengokkan kepala,
dan-lain-lain.
Gambar 2.11. Fase Terminal Swing
Gambar 2.12. Analisis Gerakan Manusia (Hamill, 1995)
11
Analisis kinetik berkaitan dengan gaya yang terjadi di dalam tubuh, sehinga analisis
gerakan kinetik berguna untuk menentukan gaya penyebab gerakan. Contoh gerak linear kinetik
yaitu orang yang mengangkat suatu benda dari bawah, mengangkat barbel dengan punggung, dan
lain-lain. Contoh gerak angular kinematik yaitu berayun 360° pada sebuah tiang horizontal.
II.2.1. Parameter Segmen Tubuh
Gerak linier kinematik disebut juga dengan gerak translasi dimana gerakan yang dihasilkan
mengikuti garis lurus (Hamill & Knutzen, 1995). Gerak linier kinematik sangat berguna untuk
menentukan alur ketika berjalan. Analisis kuantitatif biomekanik menjadi dasar dalam
mempelajari setiap gerakan linier kinematik berjalan manusia, dan membutuhkan estimasi
parameter segmen tubuh (De Leva, 1996).
Berikut merupakan kriteria dari parameter segmen tubuh (body segment parameters/BSPs)
dalam Vaughan (1999):
1. Massa dalam kg dari segmen tunggal.
2. Lokasi pusat gravitasi dari segmen tunggal relatif terhadap penunjuk anatomi tubuh
(proximal dan distal joints).
3. Momen inersia dari segmen tubuh dalam ruang tiga-dimensi (X,Y,Z) yang melalui
lokasi pusat gravitasi tersebut.
Penilaian BSPs di atas menunjukkan penilaian yang bersifat segmented, artinya penilaian massa,
pusat gravitasi, dan momen inersia hanya untuk segmen tunggal tanpa menyertakan penilaian
BSPs joint pada saat berjalan.
Dalam menetukan gerak linier kinematik membutuhkan satuan koordinat, biasanya
koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat kartesian (Hamill & Knutzen, 1995). Dalam
ruang 2 dimensi terdiri dari dua sumbu, yaitu x pada posisi horizontal dan y pada posisi vertikal.
Contoh, gerak tubuh yang dapat digambarkan dalam ruang 2D adalah bergerak ke atas atau ke
bawah (horizontal), maju ke depan atau mundur ke belakang (horizontal).
Metode umum yang digunakan untuk menggambarkan gerakan manusia dalam ruang tigadimensi
(3D) sistem CAD (diperlihatkan olleh Gambar 2.13) yaitu berdasarkan sistem referensi
bidang/sumbu (Riznanto & Toha, 2003). Greenwood tahun 1965 (Vaughan, 1999) juga
menyatakan bahwa gerakan manusia dalam ruang tiga-dimensi memiliki 6 koordinat derajat
kebebasan.
Ruang 3D memiliki tiga buah koordinat bidang/sumbu (plane), yaitu: pertama, bidang YZ
merupakan bidang yang tegak lurus dengan sumbu x dan merupakan perpotongan bidang sagittal
dan bidang transverse. Kedua, bidang XZ yaitu bidang yang tegak lurus dengan sumbu y yang
merupakan perpotongan bidang frontal dan trensverse. Ketiga, bidang XY yaitu bidang yang
tegak lurus dengan sumbu z dan merupakan perpotongan bidang sagittal dan frontal.
12
Berat tubuh individu merupakan hasil dari massa dan gravitasi yang dimiliki individu
tersebut. Letak pusat gravitasi (center of gravity/COG) merupakan titik partikel tubuh disebarkan,
selain merupakan pusat penyebaran massa juga merupakan titik keseimbangan dari tubuh (Hamill
& Knutzen, 1995). Letak pusat gravitasi berubah-ubah seiring dengan bergeraknya segmen tubuh.
Dalam ruang 3D, berubah-ubahnya COG dihasilkan dari perubahan segmen tubuh selama
melakukan pergerakan.
II.2.2. Pengukuran Antropometri Tubuh
Setiap segmen tubuh membutuhkan input data pengukuran, seperti keliling paha bagian atas
dan bawah paha, panjang paha, dan total massa tubuh untuk mengestimasi parameter segmen
tubuh tersebut. Pengetahuan tentang geometrik seperti panjang, lebar, keliling, sudut dan
karakteristik massa-inertia segmen tubuh manusia dan penyebarannya merupakan kunci penting
untuk menganalisa setiap gerakan manusia (Vaughan, 1999).
Dalam mengestimasi parameter segmen tubuh, berkaitan dengan pengukuran antropometri
segmen tubuh harus memiliki kriteria-kriteria pengukuran antropometri segmen tubuh, yaitu
(Vaughan, 1999):
1. Sesuai dengan keinginan individu
2. Waktu yang pendek
3. Murah dan aman
4. Akurat
Dalam penelitian ini parameter segmen tubuh terdiri dari: 20 data parameter antropometri, 9 data
pengukuran pada setiap sisi dimensi tubuh, total massa tubuh, dan jarak antara anterior superior
iliac spines (ASIS). Hanavan pada tahun 1964 (Hamill & Knutzen, 1995) merepresentasikan
geometri segmen tubuh manusia menjadi kerucut terpancung, silinder untuk badan (trunk), dan
kepala dengan bola elips.
Setiap segmen tubuh membutuhkan input data pengukuran, seperti keliling paha bagian
atas dan bawah paha, panjang paha, dan total massa tubuh untuk mengestimasi parameter segmen
tubuh tersebut, seperti ditunjukkan oleh Tabel 2.1. Sedangkan Crompton et.al (1996) membagi
dimensi (panjang) segmen tubuh menjadi tiga bagian, sehingga input data pengukurannya lebih
rumit untuk dilakukan.
Gambar 2.13. Posisi Standar Anatomi Tubuh dalam Ruang 3D
(Vaughan, 1999)
13
Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah model 3D Vaughan (1999), dimana
segmen tubuh dimodelkan dengan bentuk geometri silinder untuk paha, betis, badan, tangan
bagian atas dan bawah, right pyramid untuk bagian kaki. Sedangkan kepala dan tangan
menggunakan model tubuh manusia Woolley (1972), dimana kepala dimodelkan dengan model
geometri right circular ellipsoid, dan tangan dengan bola.
Nomor Pengukuran Antropometri
1 Massa Tubuh Total
2 Lebar ASIS
3 Tinggi Paha Kanan
4 Tinggi Paha Kiri
5 Keliling Paha Kanan
6 Keliling Paha Kiri
7 Tinggi Betis Kanan
8 Tinggi Betis Kiri
9 Keliling Betis Kanan
10 Keliling Betis Kiri
11 Diameter Lutut Kanan
12 Diameter Lutut Kiri
13 Panjang Kaki Kanan
14 Panjang Kaki Kiri
15 Tinggi Malleolus Kanan
16 Tinggi Malleolus Kiri
17 Lebar Malleolus Kanan
18 Lebar Malleolus Kiri
19 Lebar Metatarsal Kanan
20 Lebar Metatarsal Kiri
Sumber : Demspter dalam Vaughan, 1999
II.3. Pemodelan Manusia dan Human Gait
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pemodelan
manusia dan human gait.
II.3.1. Pemodelan Manusia
Simulasi komputer telah dibangun untuk mensimulasikan area tiga dimensi, variabel
antropometri model manusia dalam geomerti kerja yang realistis. Pada awalnya model manusia
dimulai dengan pengembangan model stickman dan linkman. Untuk mensimulasikan posisi yang
saling berkaitan, model manusia menggunakan database antropometri. Program aplikasi untuk
memodelkan manusia tersebut antara lain adalah mannequin, BOEMAN (dikembangkan oleh
Boeing), COMBIMAN (computerized biomechanical man-model), dan SAMMIE (system of
aiding man-machine interaction evaluation). Penelitian mengenai pemodelan manusia dapat
dilihat pada Table 2.2.
Tabel 2.1. Parameter Data Antropometri Segmen Tubuh
14
NAMA MODEL HUBUNGAN SURFACE BODY FAKTOR
PENILAIAN
SAMMIESystem
for
Aiding Man-
Machine
Interaction
Evaluation
(Case, 1990)
Stickmen model
(ankles, knees,
hips, lumbar, dan
thoracic spine,
shoulders, wrist,
neck
Pin joint dan
rigid links
Tiga-dimensi (3D)
dengan klasifikasi
somatotype (1940)
• Antropometri
• Dapat
membentuk
postur
WERNER
(Kloke, 1990)
Menampilkan
linear outline
tubuh manusia
Solid
(kebanyakan
ellipsoids)
Dua-dimensi (2D) • Antropometri
• Dapat
membentuk
postur
• Pendekatan
biomekanik
ADAMSAutomatic
Dynamic
Analysis of
Mechanical
Systems
(Patton, 1993)
Stickman model Rigid links Dua-dimensi (2D)
dengan wire frame
• Antropometri
• Dapat
membentuk
postur
• Pendekatan
biomekanik
Whitsett (1962)
dan Hanavan
(1964)
15 segmented
human model
Joint dan links Tiga-dimensi (3D)
Gemoetric Solid
(spheres, ellipsoids,
cylinders, truncated
cones, and
rectangular
parallelepipeds)
• Antropometri
• Dapat
membentuk
postur
• BSPs: Massa dan
momen inersia
Zatsiorsky
(1990)
16 segmented
human model
Joint dan links Tiga-dimensi (3D)
Gemoetric Solid
(right circular
ellipsoid, cone
frustum, truncated
cones)
• Antropometri
• Dapat
membentuk
postur
• BSPs: Massa dan
momen inersia
Vaughan
(1999)
14 segmented
human model
Joint dan links Tiga-dimensi (3D)
Gemoetric Solid
(cyilinder, right
circular ellipsoid,
spheres, right
pyramid)
• Antropometri
• Dapat
membentuk
postur
• BSPs: Massa dan
momen inersia
II.3.2. Penelitian Mengenai Human Gait Cycle
Telah banyak penelitian yang telah dikembangkan dalam kaitannya dengan siklus berjalan
manusia. Berjalan merupakan salah satu aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh manusia, dan
berjalan merupakan bentuk kesempurnaan manusia.
Dalam usaha mensimulasikan human gait, dibutuhkan suatu interaksi yang kompleks
diatara parameter segmen tubuh sehingga proses berjalan dapat tetap dilakukan sempurna. Bagi
orang normal, dengan anggota segmen tubuh yang lengkap, lebih mudah memelihara parametr
segmen tubuh agar tetap terjaga. Proses gait cycle bagi pengguna prostesa (anggota tubuh buatan)
Tabel 2.2. Penelitian Mengenai Pemodelan Manusia (Riznanto & Toha, 2003).
15
akan menjadi berbeda, sehingga perlu penelitian yang lebih mendalam agar proses berjalan
pengguna prostesa tetap sempurna. Penelitian-penelitian mengenai human gait cycle, dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Penelitian-Penelitian Mengenai Human Gait Cycle
NAMA HUMAN
MODEL
HUBUNGAN
ANTAR
SEGMEN
ANALISIS GAIT FAKTOR
PENILAIAN
An inverse dynamic
model for the
analisys,
reconstruction and
prediction of
bipedal walking
(Koopman B, et.al,
1995)
3D (Stickman
Model- 8 segmen
tubuh)
Links dan joint Dinamis (sagital,
dan transversal
plane)
• Massa dan
Momen
Inersia
• Gerak Kinetik
Segmen Inertial
Properties of
Primates: New
Techniques for
Laboratory and
Field Studies of
Locomotion
(Crompton, et.al,
1996)
3D (15 segmen
tubuh)
links Dinamis
(sagital, dan
transversal plane)
• Antropometri
• Massa dan
Momen
Inersia
Adjusments to
Zatsiorsky-
Seluyanov's
Segment Inersia
Parameter
(De Leva, 1996)
3D (16 segmen
tubuh)
Links Dinamis (sagital,
transversal, dan
frontal plane)
• Antropometri
• Massa dan
Momen
Inersia
Joint Forces and
Moments
Calculation for a
3D Whole Body
Model During
Complex Movement
(Thomas et.al,
2006)
3D (Stickman
model- 15
segmen tubuh)
Joint Dinamis (sagital,
dan transversal
plane)
• Antropometri
• Massa dan
Momen
Inersia
• Kinematik
Penelitian pada model biomekanika cara orang berjalan pengguna anggota tubuh buatan
dilakukan dengan menggunakan metode penilaian kuantitatif biomekanik meliputi gerak linier
kinematik, gaya dan momen yang terjadi pada saat berjalan dan parameter segmen tubuh
menggunakan data antropometri segmen tubuh, dan computer aided design (CAD). Nikolova
et.al (2005), Thomas et.al (2006), Crompton, et.al (1996), menyebutkan bahwa pengetahuan
tentang geometrik (panjang, lebar, keliling, dan sudut) dan karakteristik massa-inersia segmen
tubuh manusia merupakan kunci penting dalam analisis gerakan manusia.
Parameter segmen tubuh dapat di estimasi melalui beberapa pendekatan, termasuk
persamaan regresi (Chandler et.al, Clauser et.al dalam Nikolova et.al, 2005). Pemodelan segmen
tubuh dengan geometris solid (Hanavan dalam Hamill & Knutzen, 1995) pada dasarnya
menggunakan teknik imaging/computerized tommography. Namun, pemodelan manusia 3D
dengan teknik imaging memerlukan waktu persiapan dan pengambilan gambar yang tidak singkat
16
dengan biaya yang tidak sedikit untuk peralatannya. Seperti yang dilakukan oleh (Thomas et.al,
2006), pengambilan gambar analisis gerakan menggunakan 5 buah kamera mata elang untuk
merekam posisi 3D tubuh dengan 50 buah tanda eksternal. Gambar 2.14 menunjukkan teknik
pengambilan gambar yang dilakukan pada ruangan terbuka dengan 5 buah kamera. Teknik
pengambilan gambar posisi gerakan manusia tersebut membutuhkan operator pengambil gambar
dengan jumlah yang sama dengan jumlah kamera.
Gambar 2.15 menunjukkan teknik pengambilan gambar dengan sistem elektro-mekanik.
Teknik pengambilan gambar tersebut merupakan pendekatan yang lebih baik dibandingkan
dengan pendekatan sebelumnya, dimana telah menggunakan komputer dan kamera dengan
resolusi gambar yang lebih baik. Teknik pengambilan gambar dengan sistem elektro-mekanik
memiliki keakuratan dan kepresisian yang lebih baik, akan tetapi justru membutuhkan biaya yang
tidak sedikit untuk melakukannya.
Dengan mempertimbangkan sejumlah masalah kinematik dan biomekanika dinamis dalam
berjalan, teknik pengambilan gambar menjadi sangat diperlukan. Dalam pendekatan yang
dilakukan oleh Nikolova et.al (2005), segmen tubuh dibagi kedalam 16 segmen, dengan teknik
Gambar 2.14. Teknik Pengambilan Gambar Manusia dengan Kamera
(JB Lipincott Co. 1965)
Gambar 2.15. Teknik Pengambilan Gambar Manusia dengan Sistem Elektro-Mekanik
17
pengambilan gambar tubuh dengan memindahannya kedalam perangkat lunak CAD 3D solid
Pro/Engineering.
Serupa dengan yang dilakukan oleh Hanavan dalam Hamill & Knutzen (1995), Nikolova
et.al. (2005) merepresentasikan segmen tubuh kedalam bentuk geometri, yaitu paha dan kaki
dengan kerucut terpancung. Namun demikian, teknik pengukuran data geometri segmen tubuh
tersebut cukup memakan waktu yang lebih lama. Misalnya, data geometri untuk kerucut
terpancung adalah dua buah diameter terdiri dari diameter bagian atas kerucut dan diameter
bagian bawah kerucut.
Vaughan (1999) menyatakan, kerucut terpancung mungkin dapat memberikan pendekatan
yang lebih baik, akan tetapi membutuhkan tambahan pengukuran antropometri untuk setiap
segmennya. Dalam penelitian ini, segmen tubuh bagian bawah (paha dan betis) direpresentasikan
dengan silinder, sehingga pengukuran data antropometrinya lebih cepat dibandingkan dengan
yang dilakukan oleh Nikolova et.al. (2005).
18
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan pengembangan produk dan proses pembuatan prostesa yang dilakukan oleh Kelompok
Keahlian Sistem Manufaktur FTI-ITB (KKSM-ITB) dan Jurusan Teknik Industri FT-UNS (TIUNS)
sebagai lembaga litbang, serta Instalasi Ortotik dan Prostetik - Rumah Sakit Ortopedi Prof.
DR. R. Soeharso (IOP-RSOS) sebagai industri kesehatan adalah:
1. Inovasi teknologi desain produk prostesa kaki dan tangan.
Teknologi desain dalam penelitian ini meliputi:
• Otomasi proses desain prostesa kaki dan tangan yang memanfaatkan teknologi CAD/CAM,
yang ditujukan untuk mendapatkan desain prostesa kaki dan tangan yang baik (accuracy,
reproducibility dan simplicity), serta penurunan waktu proses perancangan.
• Perbaikan tahap penyesuaian pengguna (simplicity dan alignment) dalam menggunakan prostesa,
diharapkan dengan proses desain yang memperhatikan aspek ergonomi (antropometri dan
biomekanika) dalam bentuk computer aided engineering-prosthesis (CAE-Prosthesis), maka proses
iteratif perbaikan desain hingga tercapai produk yang sesuai dengan pengguna (comfort dan
easy alignment), dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat.
2. Inovasi teknologi proses produksi prostesa kaki dan tangan.
Perbaikan terhadap teknologi proses pembuatan produk/komponen prostesa akan dilakukan
untuk menghasilkan sistem produksi ortosa dan prostesa yang memenuhi kriteria quality, cost,
delivery time, dan flexibility. Sistem produksi yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi acuan untuk
pengembangan industri ortosa dan prostesa di Indonesia yang memenuhi kebutuhan nasional
serta mampu melakukan ekspor.
3. Inovasi teknologi produk/komponen prostesa kaki dan tangan.
Teknologi produk/komponen disini meliputi:
• Mengacu pada sasaran desain prostesa kaki dan tangan, yaitu accuracy, reproducibility dan
simplicity, comfort dan easy alignment, serta menghasilkan produk dan komponen prostesa yang
berkualitas dan murah, maka akan dilakukan identifikasi, sintesa dan analisa terhadap
produk/komponen prostesa yang akan dibuat prototipenya.
• Mengacu pada sasaran desain prostesa tangan (artificial hand) yang memperhatikan segi
kosmetik dan fungsi, maka akan digunakan teknologi kendali yang meliputi sensor,
mikrokontroler, dan aktuator.
Sasaran penelitian ini dapat dinyatakan seperti pada Gambar 3.1. Berdasarkan sasaran
tersebut diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Penguasaan teknologi perancangan dan pembuatan ortosa dan prostesa.
2. Substitusi produk/komponen prostesa impor.
3. Menghasilkan prototipe sistem CAD/CAM/CAE untuk perancangan prostesa.
4. Menghasilkan sistem dan teknologi fasilitas produksi modern (terotomasi) yang efektif dan
efisien untuk pembuatan produk/komponen prostesa.
5. Menghasilkan prototipe produk/komponen prostesa.
6. Menghasilkan prototipe artificial hand.
7. Peningkatan kualitas dan kuantitas kemitraan antara lembaga litbang KKSM-ITB, TI-UNS
dengan IOP-RSOS sebagai industri. Kualitas kemitraan ditingkatkan melalui (i) proporsi
kontribusi yang seimbang antar IOP-RSOS sebagai sumber ahli bidang prostesa dan ortosa serta
KKSM-ITB dan TI-UNS sebagai institusi litbang, selain itu industri alat kesehatan, dan (ii)
rancangan beberapa topik tugas akhir mahasiswa TI-UNS dan KKSM-ITB untuk tingkat S1, S2,
dan S3 sehingga proses pengembangan keilmuan dibidang teknologi desain dan proses produksi
prostesa dan ortosa akan berkembang dan bermanfaat secara langsung dunia pendidikan dan
dunia industri. Kuantitas kemitraan ditingkatkan melalui: (i) keterlibatan industri komponen/alat
19
kesehatan dalam pembuatan produk/komponen prostesa selama program insentif ini berjalan,
dan kemudian diharapkan dapat berlanjut setelah program insentif ini selesai, (ii) jumlah topik
tugas akhir yang merupakan pilahan-pilahan dari kerangka besar penelitian pada pengembangan
produk/komponen prostesa.
Gambar 3.1. Kemitraan Litbang dan Industri pada penelitian.
Untuk tahun pertama, tujuan penilitian ini adalah menghasilkan prototipe perangkat lunak
proses desain prostesa kaki dan tangan yang memanfaatkan teknologi CAD/CAM dalam bentuk
computer aided engineering-prosthesis (CAE-Prosthesis). Perangkat lunak ini ditujukan untuk
mendapatkan desain prostesa kaki dan tangan yang baik (accuracy, reproducibility dan
simplicity), serta menurunkan waktu proses perancangan/penyesuaian.
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
Secara garis besar tahapan dan alur kegiatan penelitian dan pengembangan ini
diperlihatkan pada Gambar-4.1 berikut.
Pengembangan Produk
Pengembangan
Teknologi Desain
Perbaikan
Teknologi Proses
Produksi
Penyempurnaan
Komponen
Prostesa Kaki
Penyempurnaan
Produk Prostesa
Kaki
Reverse Eng.
Komponen
Prostesa Kaki
Reverse Eng.
Produk Prostesa
Kaki
Penyempurnaan
Prostesa Tangan
Pengembangan
Artficial Hand
DESAIN
PROSES
PRODUKSI
PRODUK
INDUSTRI
Industri Produk/
Komponen Ortosa/
Prostesa
Prototipe
Komponen/
Produk Prostesa
Kaki
Pengembangan
Produk/Komponen
Prostesa Kaki
Produk Prostesa
Kaki
Produk Prostesa
Tangan
(Artificial Hand)
Prototipe
Prostesa Tangan
(Artificial Hand)
Penyempurnaan
Artficial Hand
Rancangan Sistem
dan Teknologi
Produksi Prostesa
Sistem CAD/
CAM/CAE
Prostesa
Gambar 4.1. Tahap dan alur kegiatan penelitian dan pengembangan
Perkembangan sistem design prostesa (CAD/CAM) difokuskan pada pada desain soket,
sehingga penggunaan digitizer diperlukan untuk sistem CAD/CAM (Hastings, et al, 1998).
Sistem CAD/CAM yang memfokuskan pada perancangan produk/komponen prostesa masih
sangat terbatas. Secara umum kriteria perancangan prostesa adalah (May, 1996): (i) nyaman
dipakai, (ii) fungsional dan (iii) keindahan, tingkat kemiripan dengan bentuk serta tampilan alat
tubuh yang asli (kosmetik).
Perancangan dan pembuatan prostesa kaki meliputi (May, 1996): kaki (foot), lutut (knee)
dan sambungan, socket serta metoda suspensi. Dua macam prostesa kaki adalah: prostesa
endoskeletal dan exoskeletal. Prostesa endoskeletal umumnya menggunakan metal pylon yang
ringan untuk menghubungkan kaki ke socket (transtibial) atau ke lutut untuk (transfemoral).
Shank umumnya dilapisi foam yang sesuai dengan warna kulit. Dalam konsep perancangan
diterapkan konsep modular. Prostesa exoskeletal, umumnya dikonstruksi dari kayu atau
polyurethane yang rigid yang kemudian dilapisi plastik. Umumnya prostesa exoskeletal lebih
murah dibandingkan endoskeletal prostesa (May, 1996).
Sistem desain prostesa yang akan dikembangkan akan melibatkan prinsip ergonomi, yaitu
antropometri dan biomekanika. Keterlibatan prinsip ergonomi pada CAD sudah pernah dilakukan
pada penelitian Riznanto & Toha (2003) dan Susmartini, et al. (2006). Secara garis besar, sistem
desain prostesa tersebut diperlihatkan pada Gambar 4.2 berikut.
21
Gambar 4.2. Sistem CAD/CAM/CAE Prostesa.
22
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan, yang dimulai dari model
dan data yang diperlukan, pengembangan perangkat lunak sistem desain, serta uji coba dan
analisisnya.
V.1. Model Evaluasi Gerakan Manusia
Gambar manusia dan gambar prostesa dibentuk berdasarkan data antropometri geometri
segmen tubuh manusia normal dan data antropometri segmen tubuh prostesa seperti diperlihatkan
pada Gambar 5.1. Dimensi geometrik gambar diantaranya adalah panjang, lebar, tinggi, dan
keliling setiap segmen tubuh. Dalam penelitian ini, evaluasi gerakan manusia normal dan prostesa
dilakukan terhadap segmen tubuh bagian bawah, yaitu paha dan betis serta kaki. Model evaluasi
gerakan manusia normal dan prostesa dilakukan untuk setiap fase siklus berjalan (gait cycle) pada
periode berdiri (stance) manusia, yaitu heel strike, foot flat, midstance, heel off, dan toe off.
Gambar 5.1. Model Evaluasi Gerakan Manusia
Analisis gait cycle untuk periode kaki berayun tidak dilakukan dalam penelitian ini.
Vaughan (1999) menyatakan, selama periode berayun dari kaki kanan pada posisi toe off hingga
dalam keadaan heel strike gaya yang terjadi adalah mendekati nol, seperti terlihat pada Gambar
5.2. Pada saat kaki kanan berada pada fase heel strike (0%) gaya semakin besar (mencapai 800
N). Gaya menjadi terpusat dan terbagi rata di seluruh perumukaan kaki bawah ketika mencapai
fase foot flat (20%), sedangkan pada fase kaki kanan mid-stance (30%) gaya yang terjadi menjadi
lebih kecil hingga 400 N. Kemudian gaya meninggi kembali hingga 600 N ketika berada pada
fase Heel off (50%), dan kembali menurun mendekati 0 N hingga kaki berada pada periode
berayun, mulai dari fase pre-swing (60%), mid-swing (80%), dan terminal swing (100%).
Keterangan:
APM: Anhropometric Parameter Models
BSPs: Body Segment Parameters
KIN : Kinetics Model
23
Gambar 5.2. Gaya Reaksi pada Posisi vertikal (N) (Vaughan, 1999)
Dalam BSPs, untuk memprediksi total massa tubuh dan momen-inersia segmen tubuh,
diperlukan data antropometri segmen tubuh. Massa masing-masing segmen tubuh tidak hanya
berhubungan dengan total massa tubuh, tetapi berkaitan juga dengan dimensi geometrik segmen
tubuh tersebut (Vaughan, 1999).
Massa sama dengan berat jenis dikali dengan volume, dimana volume merupakan susunan
parameter berdasarkan informasi dimensi segmen tubuh. Permasalahan utama dalam menganalisa
cara berjalan adalah membuat parameter segmen tubuh (BSPs) dari subjek tunggal (Vaughan,
1999). BSPs tersebut adalah:
1. Massa dalam kg dari segmen tunggal.
2. Lokasi pusat gravitasi dari segmen tunggal relatif terhadap penunjuk anatomi tubuh
(proximal dan distal joints).
3. Momen inersia dari segmen tubuh dalam ruang tiga-dimensi (X,Y,Z) yang melalui lokasi
pusat gravitasi segmen tubuh tersebut.
Dalam melakukan evaluasi gait cycle, khususnya di dalam ruang 3D adalah dengan
menentukan karakteristik gerakan gait cycle (linear kinematics). Gerak linear kinematik dalam
ruang 3D merupakan penilaian posisi segmen tubuh dan joint segmen tubuh serta letak pusat
gravitasi (Center of Gravity/COG). Memprediksi gerak linear kinematik dalam ruang 3D
(koordinat x, y, dan z) adalah dengan menempatkan suatu tanda (landmark) eksternal (pada
bagian permukaan) segmen tubuh untuk memprediksi posisi tanda bagian dalam yaitu pusat joint
dalam menentukan pusat gravitasi segmen tubuh (Vaughan, 1999).
Sebagai upaya untuk memindahkan informasi koordinat (x, y, z) dari gambar manusia
maupun dari gambar prostesa yaitu dengan memanfaatkan software interface (Get_Point) yang
dirancang dalam penelitian ini. Informasi koordinat yang dipindahkan disimpan dalam perangkat
lunak pengolah angka yaitu Excell 2003. Informasi koordinat yang dipindahkan yaitu berupa
posisi tanda eksternal yang tersimpan dalam perangkat lunak CAD Solidwork 2004 yaitu sumbu
x, y, dan z.
Dalam penelitian ini, performansi model evaluasi gerakan manusia adalah gaya dan momen
reaksi yang terjadi saat berjalan. Gaya dan momen merupakan parameter penilaian untuk gerak
kinetik (penyebab gerakan). Melalui integrasi gerak linear kinematics, pusat gravitasi, ground
reaction forces, dan BSPs serta data antropometri segmen tubuh dapat dimanfaatkan untuk
menentukan resultan joint gaya dan momen reaksi saat berjalan pada setiap fasenya.
24
V.2. Data Antropometri
Koneksi antar link dan joint pada setiap segmen tubuh memungkinkan terjadinya gerakan
anggota tubuh dalam ruang 3D. Untuk melakukan analisa biomekanika gait cycle, diperlukan
data antropometri tubuh (lihat Gambar 5.3).
Gambar 5.3. Parameter Pembuatan Model Manusia (Vaughan, 1999).
Dalam penelitian ini, data yang digunakan terdiri dari 20 data parameter antropometri,
yang terbagi menjadi 9 data hasil pengukuran pada setiap dimensi tubuh, total massa tubuh dan
jarak antara anterior superior iliac spines (ASIS) (lihat Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Parameter Pengukuran data antropometri (Vaughan, 1999).
25
V.3. Pemodelan Manusia
Model manusia dalam penelitian yang dikembangkan yaitu menggunakan model manusia
Vaughan (1999). Bentuk elemen anggota tubuh bagian bawah, yaitu paha dan betis
direpresentasikan dengan silinder (a dan b), dan kaki dengan right pyramid (c), seperti terlihat
pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4. Representasi Tubuh Manusia (Vaughan, 1999).
Tubuh manusia dibagi menjadi beberapa sambungan sendi (joint) gerak, seperti
ditunjukkan oleh gambar 5.5. Di dalam biomekanik, tubuh dipandang sebagai sebuah sistem yang
terdiri dari link dan joint. Chaffin dan Anderson (1991) menggambarkan setiap hubungan (link)
mewakili segmen tubuh tertentu dan setiap joint menggambarkan sendi yang ada. Hubungan
tersebut dapat berupa tangan, kaki, dan bagian tubuh lainnya, sedangkan koneksi antar links dapat
membentuk sebuah joints dalam bentuk, fungsi, dan cara yang bervariasi. Misalkan paha (thigh)
dapat membentuk three-degree-of-freeedom (DOF) dengan rotational (angular) joint berpusat di
pinggul (hip) yang memungkinkan melakukan gerakan flexion, extension, hyperextension,
abduction, abduction, adduction, hyperadduction, horizontal adduction, med/lateral rotation, dan
circumduction. Enam link tubuh manusia terdiri dari (Chaffin dan Anderson, 1991):
• Link lengan bawah, dibatasi oleh joint tangan dan siku.
• Link lengan atas, dibatasi oleh joint siku dan bahu.
• Link punggung, dibatasi oleh joint bahu dan pinggul.
• Link paha, dibatasi oleh joint pinggul dan lutut.
• Link betis, dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki.
• Link kaki, dibatasi oleh joint mata kaki dan kaki.
Berdasarkan analisa biomekanik, kaki memperoleh beban dari momen reaksi yang yang
timbul pada bagian anggota tubuh tersebut. Momen reaksi tersebut timbul diantara link dan joint
yang mewakili setiap segmen tubuh tertentu. Pemodelan tubuh manusia sebagai serangkaian links
yang saling berkaitan merupakan pendekatan standar dalam biomekanik (Apkarian, Naumann &
Cairns, 1989; Cappozzo, 1984, dalam Vaughan, 1999).
26
Gambar 5.5. Link dan Joint Segmen Tubuh Manusia
(Chaffin dan Anderson, 1991)
Metode umum yang digunakan untuk menggambarkan gerakan manusia dalam ruang tigadimensi
(3D) sistem CAD yaitu berdasarkan sistem referensi bidang/sumbu (Riznanto & Toha,
2003). Greenwood (1965) dalam Vaughan (1999) juga menyatakan bahwa gerakan manusia
dalam ruang tiga-dimensi memiliki 6 koordinat derajat kebebasan. Ruang 3D memiliki tiga buah
koordinat bidang/sumbu (plane), yaitu: pertama, bidang YZ merupakan bidang yang tegak lurus
dengan sumbu x dan merupakan perpotongan bidang sagittal dan bidang transverse. Kedua,
bidang XZ yaitu bidang yang tegak lurus dengan sumbu y yang merupakan perpotongan bidang
frontal dan trensverse. Ketiga, bidang XY yaitu bidang yang tegak lurus dengan sumbu z dan
merupakan perpotongan bidang sagittal dan frontal.
V.4. Model Matematika Segmen Tubuh
V.4.1. Model Matematika Massa dan Momen Inersia Segmen Tubuh
Setiap gerakan dalam gait cycle memiliki nilai massa dan momen segmen tubuh. Setiap massa
segmen tubuh tidak hanya berkaitan dengan total masa tubuh, tetapi berkaitan juga dengan
dimensi segmen tubuh tersebut. Masa segmen anggota tubuh berkaitan erat dengan parameter
dimensi panjang dan tergantung pada volume segmen tubuh. Model matematika untuk mencari
masa segmen tubuh ditentukan sebagai berikut:
(5.1)
27
Dimana C1, C2, C3 merupakan nilai koefesien regresi. Berkaitan dengan tujuan dalam penelitian
ini, bentuk dari paha dan betis direpresentasikan dengan silinder. Sedangkan bentuk kaki yaitu
dengan right pyramid.
Momen inersia segmen tubuh merupakan pengukuran ketahanan tubuh dalam melakukan
gerakan angular. Momen inersia berhubungan dengan masa segmen tubuh (kg) terhadap kuadrat
dimensi panjangnya. Dalam ruang tiga dimensi, setiap segmen tubuh memiliki gerakan dasar.
Diantaranya sumbu flexion/extension, sumbu abduction/adduction, dan sumbu internal/external
(lihat Gambar 5.6). Model matematis untuk menentukan momen inersia sebagai berikut:
(5.2)
Dimana C4 dan C5 merupakan koefesion regresi.
Gambar 5.6. Prinsip Sumbu Ortogonal
V.4.2. Model Linear Kinematik
Analisa biomekanik linear kinematik dalam ruang 3D digunakan dengan memanfaatkan
sumbu koordinat kartesian (global reference system) yang ada pada CAD model 3D Solidworks
(file sldprt), yaitu tiga sumbu utama X, Y, dan Z, serta 3 sumbu rotasi. Dalam memprediksi posisi
internal setiap segmen tubuh, maka digunakan suatu tanda (landmarks) eksternal pada permukaan
masing-masing segmen tubuh. Dalam penelititan ini digunakan 15 tanda yang menyatakan setiap
posisi segmen tubuh dalam ruang 3D (lihat Gambar 5.7).
Joints yang terdapat pada anggota tubuh bagian bawah adalah pangkal paha (hip), lutut
(Knee), dan engkel (Ankle). Berikut adalah algoritma untuk menentukan posisi joints pangkal
paha, lutut, dan engkel dalam ruang 3D (lihat Gambar 5.8).
28
Gambar 5.7. Sistem Penanda-15 Posisi Segmen Tubuh: (a) asterior view; (b) posterior view
Gambar 5.8. Penentuan Posisi Pusat Joints
(a)
(b)
Pilih 3 Tanda Pada Segmen Tubuh
Buat Sumbu Referensi Ortogonal
u, v, dan w Berdasarkan 3 Tanda
yang Dibuat Pada Tahap
Menentukan Posisi Pusat Joints
dengan Menggunakan Persamaan
Prediksi Berdasarkan Pengukuran
29
Model matematis untuk menentukan posisi joints engkel dengan jari kaki sebagai berikut
(Vaughan, 1999):
Model matematis untuk menentukan posisi pusat joints lutut sebagai berikut (Vaughan,
1999):
Model matematis untuk menentukan posisi pusat joints pangkal paha sebagai berikut
(Vaughan, 1999):
V.4.3. Pusat Gravitasi
Letak pusat gravitasi (Center of Gravity/COG) merupakan pusat tempat partikel tubuh di
distribusikan, dan juga sebagai titik keseimbangan tubuh. Dalam proses gait cycle, letak pusat
gravitasi dapat berubah atau memiliki nilai yang berbeda-beda dalam setiap fase gait cycle. Letak
pusat gravitasi dapat dihitung dengan menggunakan rasio letak pusat gravitasi (lihat Tabel 5.2).
Letak pusat gravitasi dalam ruang 3D digunakan untuk menentukan resultan momen joints gerak
dinamis.
Segmen Tubuh Ukuran (%)
Paha Kanan 0.39
Paha Kiri 0.39
Betis Kanan 0.42
Betis Kiri 0.42
Kaki Kanan 0.44
Kaki Kiri 0.44
Sumber: Vaughan, 1999
(5.3)
(5.4)
(5.5)
(5.6)
Tabel 5.2. Rasio Letak Pusat Gravitasi
30
Model matematis untuk menentukan lokasi pusat gravitasi segmen tubuh bagian bawah,
yaitu paha, betis, dan kaki ditentukan sebagai berikut (Vaughan, 1999):
V.5. Model Matematika Gaya dan Momen Gerak Dinamis
Berjalan merupakan proses gerak dinamis yang dilakukan oleh setiap link dan joint. Faktor
utama dalam gerak dinamis tidak hanya kinematik (dampak dari gerakan) yang digunakan, akan
tetapi penyebab gerakan (kinetik/resultan joint gaya dan momen reaksi) juga diperhitungkan
(Vaughan, 1999).
Gambar 5.9. Dynamics Joint Gerakan Manusia (Vaughan, 1999).
Gambar 5.9 menunjukkan integrasi gerak linear kinematics, pusat gravitasi, ground
reaction forces, dan BSPs serta pengukuran antropometri segmen tubuh dalam analisis
biomekanik yang dimanfaatkan untuk menentukan resultan joint gaya dan momen reaksi saat
berjalan pada setiap fasenya. Joint gaya dan momen reaksi masing-masing segmen tubuh dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan gerak.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan analisis biomekanik, kaki memperoleh
beban dari adanya momen reaksi yang timbul pada bagian anggota tubuh tersebut. Pembebanan
yang diterima oleh kaki dikarenakan gaya-gaya yang bekerja pada bagian tubuh (keseluruhan
tubuh). Momen reaksi pada anggota tubuh timbul diantara link dan joint yang mewakili segmen
tubuh tertentu.
Pada penelitian ini, evaluasi gerakan manusia diukur berdasarkan beban yang timbul pada
posisi anggota badan dinamis. Pada posisi dinamis (berjalan), gaya yang dihitung yaitu gaya-gaya
yang muncul pada link dan joint. Posisi dinamis terdiri dua fase, yaitu fase berayun (swing phase)
dan fase berdiri (stance phase). Evaluasi gerakan manusia hanya dilakukan untuk setiap fase
siklus berjalan (gait cycle) pada periode berdiri (stance), yaitu heel strike, foot flat, midstance,
heel off, dan toe off.
(5.7)
31
• Gaya-gaya yang timbul diformulasikan kedalam model matematis sehingga diperoleh
titik-titik pembebanan berdasarkan nilai gaya reaksi serta momen reaksi. Gaya dan
momen reaksi pada saat berjalan dapat dilihat pada free body diagram Gambar 5.10.
Gambar 5.10. Free Body Diagram Gerakan Manusia Berjalan (Setyaningrum, 2006)
Berikut adalah model matematis untuk gaya dan momen, yaitu (Setyaningrum, 2006):
• Posisi Dinamis (berjalan)
Persamaan gaya reaksi:
0 ΣRj =
j j1 L R R W − − = +
1
dengan;
gaya reaksi di setiap joint j (N)
= gaya reaksi pada joint sebelumnya (N)
= berat setiap link L (N)
j
j
L
R
R
W
+
=
Persamaan momen reaksi:
0 j ΣM =
( )( )( ) ( )( )( ) 1 1 1 cos cos j j L j L j j j M M jCM θ W j θ R − − − = +⎡⎣ ⎤⎦+⎡⎣ ⎤⎦
R2a R2b
W1a
θ 1a
θ 2a
θ 2b
R1a
W2a
W2b
(5.8)
(5.9)
32
1
dimana:
= momen reaksi pada setiap joint j (Nm)
= momen reaksi pada joint sebelumnya (Nm)
= jarak antara joint j ke pusat massa link L (m)
= sudut link L pada seyiap joint j
j
j
L
j
M
M
jCM
θ

1
1
berdasarkan sumbu horizontal
= berat segmen tubuh pada setiap link L ( N)
= jarak link yang diukur dari joint j ke joint j-1 (m)
= gaya reaksi pada joint j-1 (N)
L
j
j
W
j
R


V.6. Model 3D Tubuh Manusia
Visualisasi model 3D tubuh manusia dalam penelitian ini, digunakan model manusia
Vaughan (1999) yang disimpan sebagai file sldprt (solidworks part documents) pada perangkat
lunak Solidworks 2004. Masing-masing segmen tubuh dimodelkan dengan bentuk geometri
silinder untuk paha, betis, badan, tangan bagian atas dan bawah, right pyramid untuk bagian kaki.
Sedangkan kepala dan tangan menggunakan model tubuh manusia Woolley (1972), dimana
kepala dimodelkan dengan model geometri right circular ellipsoid, dan tangan dengan bola.
Model manusia dalam bentuk utuh dapat dilihat pada Gambar 5.11 yang dipisahkan berdasarkan
masing-masing anggota segmen tubuh.
Gambar 5.11. Bagian Tubuh Model Manusia 3D
Pembuatan model manusia diawali dengan menyimpan dalam bentuk file sldprt, dan
informasi geometri dalam bentuk xls (Excell 2003), lihat Gambar 5.12. Masing-masing segmen
tubuh disimpan per bagian dalam file sldprt dengan nama file masing-masing. Misalnya, gambar
segmen tubuh paha (thigh) kanan disimpan dengan nama file Paha_Kanan.sldprt, betis (calf) kiri
disimpan dengan nama file Betis_kiri.sldprt.
33
Segmen tubuh 3D berjumlah 14 segmen tubuh, yaitu:
1. Kepala
2. Badan
3. Lengan bagian atas kanan
4. Lengan bagian atas kiri
5. Lengan bagian bawah kanan
6. Lengan bagaian bawah kiri
7. Tangan kanan
8. Tangan kiri
9. Paha bagian kanan
10. Paha bagian kiri
11. Betis bagian kanan
12. Betis bagian kiri
13. Kaki kanan
14. Kaki kiri
Dimensi geometrik gambar masing-masing segmen tubuh sesuai dengan data antropometri
segmen tubuh, yaitu: panjang, lebar, keliling, sudut dan karakteristik massa-inertia segmen tubuh
manusia dan penyebarannya. Informasi geometri masing-masing gambar segmen tubuh disimpan
dalam file xls (Excell 2003). File xls tersebut merupakan file yang terhubung/memiliki link
dengan file sldprt, akan tetapi memiliki sifat berdiri sendiri, sehingga perubahan input data
anthropometri dapat dilakukan tanpa harus membuka file sldprt yang berkaitan.
Gambar 5.12. Pembuatan Model Manusia
Membuat tabel
dimensi
Membuat model
gambar 3D per
Membuat link
dengan file xls
Simpan dalam bentuk
sldprt
Menentukan link
dimensi masingmasing
gambar bagian
Menyatukan model
manusia per segmen
menjadi gambar 3D
Simpan dalam bentuk
sldasm
Model Manusia 3 D
Simpan dalam
bentuk file xls
39
V.8. Perancangan Struktur Data Evaluasi Gerakan Manusia
Berdasarkan pada model evaluasi gerakan manusia yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka struktur data perangkat lunak yang dikembangkan terdiri atas data geometri CAD dan data
spreadsheet.
Gambar 5.13 merupakan struktur data evaluasi gerakan manusia, gambar tersebut
menunjukkan aliran data pada perangkat lunak evaluasi cara berjalan manusia normal dan
manusia dengan prostesa. Struktur data APM dan dimensi prostesa, merupakan data hasil
pengukuran langsung pada tubuh manusia yang disimpan pada file spreadsheet Excell 2003
dengan ekstension _.xls. Struktur data APM dan dimensi prostesa merupakan data informasi
geometrik (panjang, tinggi, lebar, dan keliling) segmen tubuh dan menjadi input untuk
perhitungan BSPs yang di proses di dalam spreadsheet Excell 2003 tersebut.
Gambar 5.13. Struktur Data Evaluasi Gerakan Manusia
Struktur data gambar prostesa dan gambar manusia adalah input data berupa geometri
solid, diantaranya sphere, ellipsoid, cylinder, dan right pyramid. Dimensi ukuran geometri solid
adalah sesuai dengan data antropometri, yang disimpan dalam perangkat lunak CAD Solidworks
2004 dengan ekstension sldprt. Sedangkan struktur data gambar manusia (dan prostesa)
merupakan perakitan model gambar segmen tubuh menjadi model manusia utuh. Pengolahan data
gambar manusia (dan prostesa) dilakukan di dalam perangkat lunak CAD Solidwork 2004 dengan
ekstension dokumen _.sldams.
BSPs merupakan struktur data massa, letak pusat gravitasi, dan momen inersia dari berat
tubuh untuk setiap segmen tubuh. BSPs selain menyatakan letak pusat massa, gravitasi dan
momen-inersia juga merupakan pusat penyebaran BSPs. Sedangkan struktur data kinematik
(KIN) terdiri dari informasi posisi segmen tubuh, informasi joint segmen tubuh, dan letak pusat
gravitasi pada setiap joint segmen tubuh, yaitu pinggul, paha, dan engkel.
V.8. Pengujian dan Analisis Perangkat Lunak
Model manusia yang dikembangkan menggunakan perangkat lunak Solidworks 2004.
Untuk memindahkan tanda (landmarks) eksternal, dikembangkan suatu software interface
(Get_Point) dengan menggunakan bahasa pemograman Visual Basic 6.0. Perhitungan evaluasi
gerakan manusia berjalan digunakan perangkat lunak pengolah angka yaitu Excell 2003.
Pengujian perangkat lunak dilakukan dengan menggunakan dua contoh kasus.
40
V.8.1. Studi Kasus 1
Kasus adalah analisa gerakan berjalan manusia menggunakan data antropometri segmen
tubuh normal (bukan pengguna prostesa). Data segmen tubuh disimpan dalam file Excell 2003
dengan nama file Data_Utama.xls (lihat Tabel 5.3). Langkah awal yaitu memasukkan data
antropometri orang normal kedalam modul perhitungan evaluasi gerakan manusia. Langkah
selanjutnya yaitu membuka link dimensi segmen tubuh paha kanan dan kiri, betis kanan dan kiri,
serta kaki kanan dan kiri (lihat Gambar 5.14).
Tabel 5.3. Data Antropometri Segmen Tubuh Laki-Laki Normal
Nomor Anthropometric
measurement Value Units Radius
[r]
Length
[l]
A1 Total body mass 64.90 kg
A2 ASIS breadth 0.240 m 0.240
A3 Tinggi Paha Kanan 0.460 m 0.460
A4 Tinggi Paha Kiri 0.465 m 0.465
A5 Keliling Paha Kanan 0.450 m 0.072
A6 Keliling Paha Kiri 0.440 m 0.070
A7 Tinggi Betis Kanan 0.430 m 0.430
A8 Tinggi Betis Kiri 0.430 m 0.430
A9 Keliling Betis Kanan 0.365 m 0.058
A10 Keliling Betis Kiri 0.365 m 0.058
A11 Diameter Lutut Kanan 0.108 m
A12 Diameter Lutut Kiri 0.112 m
A13 Panjang Kaki Kanan 0.260 m 0.260
A14 Panjang Kaki Kiri 0.260 m 0.260
A15 Tinggi Malleolus Kanan 0.060 m 0.060
A16 Tinggi Malleolus Kiri 0.060 m 0.060
A17 Lebar Malleolus Kanan 0.074 m 0.074
A18 Lebar Malleolus Kiri 0.073 m 0.073
A19 Lebar Metatarsal Kanan 0.098 m 0.098
A20 Lebar Metatarsal Kiri 0.096 m 0.096
Link dimensi untuk orang normal berjumlah 6 buah, yang disimpan dalam Excell 2003
dengan nama file sesuai dengan model/gambar solid. Hasil link dimensi orang normal dapat
dilihat pada Tabel 5.4.
41
Gambar 5.14. Link Dimensi Orang Normal
Tabel 5.4. Data_Utama.xls
No Nama Variabel Link Dimensi Ukuran
1 Diameter_Paha_Kanan@Sketch1 144
2 Tinggi_Paha_Kanan@Extrude1 460
3 Diameter_Betis_Kanan@Sketch1 111.5
4 Tinggi_Betis_Kanan@Extrude1 350
5 Diameter_Paha_Kiri@Sketch1 140
6 Tinggi_Paha_Kiri@Extrude1 465
7 Diameter_Betis_Kiri@Sketch1 116
8 Tinggi_Betis_Kiri@Extrude1 430
9 Lebar_Malleolus_Kanan@Sketch2 74
10 Tinggi_Malleolus_Kanan@Sketch2 70
11 Panjang_Kaki_Kanan@Extrude2 260
12 Tinggi_Malleolus_Kiri@Sketch2 60
13 Lebar_Malleolus_kiri@Sketch2 73
14 Panjang_Kaki_Kiri@Extrude2 260
Langkah berikutnya yaitu membuat gambar solid assembly. Gambar solid model manusia
dibentuk dengan perangkat lunak CAD Solidwork 2004, gambar solid model manusia disimpan
dengan nama file human_model_assembly.sldasm. Hasil gambar solid model manusia dapat
dilihat pada Gambar 5.15.
42
Gambar 5.15. Model Manusia Assembly
Langkah berikutnya adalah menghitung nilai parameter segmen tubuh, hasil perhitungan
dapat dilihat pada Tabel 5.5. Berdasarkan Tabel 5.5, massa paha kanan adalah 6.86 kg dan massa
paha kiri adalah 6.82 kg. Hal tersebut menggambarkan bahwa terdapat perbedaan segmen massa
antara paha kanan dan kiri, terjadi karena dimensi geometri (tinggi dan diameter) kedua segmen
tersebut berbeda. Demikian juga massa kaki kanan dan kiri berbeda, yaitu 0.77 kg untuk kaki
kanan dan 0.76 kg untuk kaki kiri. Hal yang sama juga menjadi penyebab untuk kaki kanan dan
kiri, yaitu perbedaan dimensi (tinggi, panjang, dan lebar). Sedangkan massa segmen betis kanan
dan kiri menunjukkan hasil yang sama yaitu 3.28 kg kaki kanan dan 3.28 kg kaki kiri, karena
keduanya memiliki dimensi geometri yang sama.
Tabel 5.5. Hasil pengukuran BSPs Manusia Normal
Segment Numer 1 2 3 4 5 6
Segmen Name R. Thigh L. Thigh R. Calf L. Calf R. Foot L. Foot
Mass 6.86 6.82 3.28 3.28 0.77 0.76
CG Position 0.39 0.39 0.42 0.42 0.44 0.44
Flx/Ext Axis 0.1238 0.1257 0.0490 0.0490 0.0035 0.0035
Abd/Add Axis 0.1188 0.1207 0.0504 0.0504 0.0040 0.0039
Int/Ext Axis 0.0229 0.0220 0.0037 0.0037 0.0011 0.0011
Langkah selanjutnya yaitu meletakkan 15 tanda eksternal pada segmen tubuh bagian
bawah. Hasil gambar solid model manusia dengan 15 tanda eksternal dapat dilihat pada Gambar
5.16. Diperoleh hasil posisi masing-masing tanda eksternal berupa titik koordinat (x,y,z) dari 15
tanda eksternal yang diletakkan pada setiap permukaan segmen tubuh, seperti ditunjukkan oleh
Tabel 5.6.
43
Tabel 5.6. Posisi Tanda Eksternal Pada Masing-Masing Permukaan
Segmen Tubuh, Fase TO.
Nomer Nama Posisi Tanda X (m) Y (m) Z (m)
P1 R. Metatarsal head V -0.079 -0.795 -0.351
P2 R. Heel -0.042 -0.699 -0.514
P3 R Lateral malleolus -0.110 -0.688 -0.461
P4 R. Tibial wand -0.135 -0.535 -0.227
P5 R. Femoral epicondyle -0.148 -0.432 -0.077
P6 R. Femoral wand -0.148 -0.163 -0.028
P7 R. ASIS -0.146 0.067 -0.027
P8 L. Metatarsal head V 0.066 -0.841 0.388
P9 L. Heel 0.113 -0.930 0.224
P10 L. Lateral malleolus 0.106 -0.879 0.251
P11 L. Tibial wand 0.135 -0.578 0.187
P12 L. Femoral epicondyle 0.148 -0.438 0.124
P13 L. Femoral Wand 0.148 -0.170 0.042
P14 L. ASIS 0.148 0.049 0.010
P15 Sacrum -0.015 0.043 -0.148
Gambar 5.16 menunjukkan posisi L. Malleolus kaki kanan selama fase berdiri (stance),
pada saat 0% (HS) kurva koordinat Z menunjukkan posisi awal berjalan dan bergerak menurun.
Kurva Z mulai menurun pada saat mencapai fase 10% (FF), artinya telapak kaki mulai rata
dengan landasan hingga berada pada fase 30% (Midstance) dimana kaki (heel) mulai
meninggalkan landasan. Posisi Malleolus berada pada posisi paling tinggi yaitu pada saat fase
50% (HO). Posisi Malleolus kembali menurun hingga saat mencapai fase 60%, artinya malleolus
mulai pada fase awal berayun.
Gambar 5.16. L. Malleolus Kaki Kanan Fase Berdiri (Stance)
R. L. Malleolus
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
X
Y
Z
44
Tabel 5.7. Posisi Joint Segmen Tubuh, Fase TO
Joint/Point X(m) Y(m) Z(m)
R. Hip -0.171 -0.113 -0.304
L. Hip -0.171 -0.171 -0.171
R Knee -0.202 -0.486 -0.131
L. Knee -0.202 -0.486 -0.131
R. Ankle -0.126 -0.704 -0.477
L. Ankle 0.091 -0.895 0.236
R. Toe -0.257 -0.834 -0.608
L. Toe -0.040 -1.026 0.105
R. Heel -0.110 -0.687 -0.460
L. Heel 0.107 -0.879 0.252
Gambar 5.17 menunjukkan posisi joint engkel, dimana bergerak seirama dengan posisi L.
Malleolus kanan. Pada posisi berdiri, CG bergerak dinamis hingga pada fase 50% (HO). CG
mulai bergerak menurun dari fase 50% hingga 60%, karena pada fase tersebut kaki mulai
memasuki fase selanjutnya.
Gambar 5.17. Posisi joint Engkel Kanan Fase Berdiri (Stance)
Tabel 5.8. COG Segmen Tubuh
COG
Posisi Segmen COG
X Y Z
PR.Thigh.CG -0.183 -0.258 -0.237
PL.Thigh.CG -0.183 -0.294 -0.156
PR.Calf.CG -0.170 -0.577 -0.276
PL.Calf.CG -0.079 -0.658 0.023
PR.Foot.CG -0.175 -0.752 -0.525
PL.Foot.CG 0.042 -0.943 0.187
R. Ankle
-1.000
-0.800
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
X
Y
Z
45
Gambar 5.18. CG Kaki Kanan (Periode Stance)
Hasil perhitungan berat serta letak pusat massa untuk maisng segmen tubuh dapat dilihat
pada Gambar 5.18 dan Tabel 5.9.
Panjang Segmen
Tubuh (m) - Segmen p COG (Proximal)
Tubuh Berat Tubuh (N)
Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Bawah 649 0.280 0.120
Lengan Atas 649 0.310 0.135
Punggung 649 0.579 0.350
Paha 68.633 68.234 0.460 0.465 0.179 0.181
Betis 32.775 32.775 0.430 0.430 0.181 0.181
Kaki 7.675 7.635 0.060 0.060 0.026 0.026
Gambar 5.19. Momen Reaksi Paha, Betis dan Kaki (Periode Stance)
Gambar 5.20. Gaya Reaksi Paha, Betis dan Kaki (Periode Stance)
Berdasakan grafik yang ditunjukkan oleh Gambar 5.19 dan 5.20, bahwa gaya reaksi yang
dihasilkan pada setiap fase berjalan adalah stabil. Masing-masing segmen tubuh pada setiap fase
berjalan memiliki gaya reaksi yang sama besar. Meskipun gaya reaksi yang terjadi adalah relatif
stabil untuk tiap-tiap fase berjalan, momen reaksi yang dihasilkan adalah berbeda pada setiap
fasenya.
CG Right
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
Thigh
Calf
Foot
Momen Reaksi
0.000
50.000
100.000
150.000
200.000
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
% Gait Cycle
Paha
Kanan
Betis
Kanan
Kaki
Kanan
Gaya Reaksi
0
100
200
300
400
500
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
% Gait Cycle
Paha
Kanan
Betis
Kanan
Kaki
Kanan
Tabel 5.9. CG Kaki Kanan (Periode Stance)
46
Gambar 5.19 menunjukkan bahwa momen reaksi yang paling besar adalah terjadi pada saat
kaki bagian belakang menyentuh landasan yaitu pada fase HS (0%), dan bergerak menurun
seiring kaki bagian depan (toe) mengenai landasan (fase FF: 10%). Pada saat kaki mulai pada
fase FF, momen reaksi relatif stabil hingga memasuki fase midstance karena beban berat badan
keseluruhan bertumpu pada telapak kaki seluruh ruas telapak kaki. Pada saat memasuki fase heel
off (30%), momen reaksi yang terjadi juga menurun, karena kaki mulai meninggalkan landasan.
Momen reaksi juga kembali menjadi tinggi yaitu pada saat memasuki fase toe off (40%), artinya
terdapat pelepasan beban berat badan keseluruhan yang tertumpu pada kaki tersebut, karena kaki
mulai memasuki fase berayun (pre-swing).
V.8.2. Studi Kasus 2
Kasus ini adalah analisa gerakan berjalan manusia menggunakan data antropometri segmen
tubuh pengguna prostesa. Beberapa asumsi yang digunakan adalah:
1. Bahan prostesa yang digunakan adalah silinder kosong, namun perhitungan untuk keliling
dan jari-jari mengikuti model Vaughan.
2. Data dimensi kaki prostesa adalah sama dengan data dimensi kaki orang normal.
Berikut adalah data prostesa betis yang digunakan pada studi kasus 2:
1. Massa jenis = 2700 kg/m3
2. Tinggi = 480 mm
3. Diameter = 280 mm
Data segmen tubuh disimpan dalam file Excell 2003 dengan nama file Data_Utama.xls (lihat
Tabel 5.10). Langkah awal yaitu memasukkan data antropometri pengguna prostesa kedalam
modul perhitungan evaluasi gerakan manusia. Langkah selanjutnya yaitu membuka link dimensi
segmen tubuh paha kanan dan kiri, betis kanan dan kiri, serta kaki kanan dan kiri.
Tabel 5.10. Data Antropometri Segmen Tubuh Laki-Laki Pengguna Prostesa
Nomor Anthropometric
measurement Value Units Radius [r] Length [l]
A1 Total body mass 63.50 kg
A2 ASIS breadth 0.240 m 0.240
A3 Tinggi Paha Kanan 0.460 m 0.460
A4 Tinggi Paha Kiri 0.465 m 0.465
A5 Keliling Paha Kanan 0.450 m 0.072
A6 Keliling Paha Kiri 0.440 m 0.070
A7 Tinggi Betis Kanan 0.480 m 0.480
A8 Tinggi Betis Kiri 0.430 m 0.430
A9 Keliling Betis Kanan 0.088 m 0.014
A10 Keliling Betis Kiri 0.365 m 0.058
A11 Diameter Lutut Kanan 0.108 m
A12 Diameter Lutut Kiri 0.112 m
A13 Panjang Kaki Kanan 0.260 m 0.260
A14 Panjang Kaki Kiri 0.260 m 0.260
A15 Tinggi Malleolus Kanan 0.060 m 0.060
A16 Tinggi Malleolus Kiri 0.060 m 0.060
A17 Lebar Malleolus Kanan 0.074 m 0.074
A18 Lebar Malleolus Kiri 0.073 m 0.073
A19 Lebar Metatarsal Kanan 0.098 m 0.098
A20 Lebar Metatarsal Kiri 0.096 m 0.096
47
Pada studi kasus 2, tidak ditambahkan link dimensi untuk betis prostesa. Akan tetapi,
hanya menambahkan dan mengganti gambar/model segmen tubuh betis normal dengan
model/gambar prostesa pada file CAD Solidwork 2004 (nama
file:Human_Model_Assembly.sldasm) dan disimpan kembali dengan nama file Human
_Model+Prostesa.sldasm.
Langkah berikutnya adalah menghitung nilai parameter segmen tubuh, hasil perhitungan
dapat dilihat pada Tabel 5.11. Berdasarkan Tabel 5.11, massa paha kanan adalah 6.72 kg dan
massa paha kiri adalah 6.68 kg. Hal tersebut menggambarkan bahwa terdapat perbedaan segmen
massa antara paha kanan dan kiri, terjadi karena dimensi geometri (tinggi dan diameter) kedua
segmen tersebut berbeda. Demikian juga massa kaki kanan dan kiri berbeda, yaitu 0.76 kg untuk
kaki kanan dan 0.75 kg untuk kaki kiri. Hal yang sama juga menjadi penyebab untuk kaki kanan
dan kiri, yaitu perbedaan dimensi (tinggi, panjang, dan lebar). Massa segmen betis kanan dan kiri
juga menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu 1.57 kg kaki kanan dan 3.25 kg kaki kiri,
karena keduanya memiliki dimensi geometri geometri yang berbeda dan massa jenis yang
berbeda juga.
Hasil gambar solid human_model+prostesa.sldasm dan 15 tanda eksternal dapat dilihat
pada Gambar 5.21.
Tabel 5.11. Hasil pengukuran BSPs Manusia Prostesa
Segment Numer 1 2 3 4 5 6
Segmen Name R. Thigh L. Thigh R. Calf L. Calf R. Foot L. Foot
Mass 6.72 6.68 1.57 3.25 0.76 0.75
CG Position 0.39 0.39 0.42 0.42 0.44 0.44
Flx/Ext Axis 0.1214 0.1233 0.0560 0.0481 0.0034 0.0034
Abd/Add Axis 0.1165 0.1183 0.0581 0.0493 0.0039 0.0039
Int/Ext Axis 0.0225 0.0216 0.0003 0.0036 0.0011 0.0011
Gambar 5.21. Gambar solid human_model+prostesa
48
Langkah selanjutnya yaitu meletakkan 15 tanda eksternal pada segmen tubuh bagian
bawah. Hasil gambar solid model manusia dengan 15 tanda eksternal dapat dilihat pada Gambar
5.21. Diperoleh hasil posisi masing-masing tanda eksternal berupa titik koordinat (x,y,z) dari 15
tanda eksternal yang diletakkan pada setiap permukaan segmen tubuh, seperti ditunjukkan oleh
Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Posisi Tanda Eksternal Pada Masing-Masing Permukaan
Segmen Tubuh Prostesa, Fase TO.
Nomer Nama Posisi Tanda X (m) Y (m) Z (m)
P1 R. Metatarsal head V -0.080 -0.786 -0.475
P2 R. Heel -0.075 -0.715 -0.614
P3 R Lateral malleolus -0.109 -0.704 -0.549
P4 R. Tibial wand -0.090 -0.481 -0.378
P5 R. Femoral epicondyle -0.146 -0.342 -0.289
P6 R. Femoral wand -0.148 -0.120 -0.113
P7 R. ASIS -0.149 0.042 0.003
P8 L. Metatarsal head V 0.075 -0.805 0.434
P9 L. Heel 0.078 -0.902 0.311
P10 L. Lateral malleolus 0.107 -0.852 0.332
P11 L. Tibial wand 0.135 -0.550 0.243
P12 L. Femoral epicondyle 0.147 -0.400 0.182
P13 L. Femoral Wand 0.147 -0.149 0.078
P14 L. ASIS 0.148 0.041 0.011
P15 Sacrum 0.010 0.041 -0.148
R. Lateral Malleolus
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
Z
Gambar 5.22. L. Malleolus Kaki Kanan Fase Berdiri (Stance)
Gambar 5.22 menunjukkan posisi L. Malleolus kaki kanan selama fase berdiri (stance).
Hasil yang diperoleh menggambarkan bahwa posisi L. Malleolus kaki kanan cenderung menurun
setiap fasenya. Hal itu disebabkan karena kaki dan betis prostesa tidak memiliki joint, artinya
kaki pada saat berpindah fase tidak berubah dinamis seiring proses berjalan. Berbeda dengan
yang ditunjukkan oleh L. Malleolus kaki kiri, dimana bergerak sesuai dengan pola manusia
berjalan. Seperti terlihat pada Gambar 5.23.
49
L. Lateral Malleolus
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
Z
Gambar 5.23. L. Malleolus Kaki Kiri Fase Berdiri (Stance)
Tabel 5.13. Posisi Joint Segmen Tubuh, Fase TO
Joint/Point X(m) Y(m) Z(m)
R. Hip -0.147 -0.116 -0.305
L. Hip -0.147 -0.147 -0.147
R Knee -0.200 -0.396 -0.343
L. Knee -0.200 -0.396 -0.343
R. Ankle -0.125 -0.720 -0.565
L. Ankle 0.091 -0.867 0.316
R. Toe -0.256 -0.851 -0.696
L. Toe -0.040 -0.998 0.186
R. Heel -0.109 -0.703 -0.549
L. Heel 0.107 -0.851 0.332
Gambar 5.24 menunjukkan posisi joint engkel kanan tidak bergerak seirama dengan posisi
L. Malleolus kanan. Pada kasus ini, baik itu betis bagian atas maupun bagian bawah tidak meiliki
joint segmen tubuh, sehingga tidak terjadi gerak rotasi yang dilakukan oleh joint. Hal tersebut
mengakibatkan setiap fase posisi joint engkel cenderung menurun, karena kaki dan betis prostesa
tidak memiliki joint. kaki pada saat berpindah fase tidak berubah dinamis seiring pola/siklus
berjalan.
Gambar 5.24. Posisi joint Engkel Kanan Fase Berdiri (Stance)
Gambar 5.25. CG Kaki Kanan (Periode Stance)
R. Ankle
-1.200
-1.000
-0.800
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
X
Y
Z
CG Right
-0.800
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
% Gait Cycle
Thigh
Calf
Foot
50
Hasil perhitungan berat serta letak pusat massa untuk maisng segmen tubuh dapat dilihat
pada Tabel 5.14.
Panjang
Segmen Tubuh
(m) - p
COG (Proxima )
Segmen
Tubuh
Berat Tubuh (N)
Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Bawah 635 0.280 0.120
Lengan Atas 635 0.310 0.135
Punggung 635 0.579 0.350
Paha 67.188 66.789 0.460 0.465 0.179 0.181
Betis 20.895 32.459 0.480 0.430 0.202 0.181
Kaki 7.558 7.519 0.060 0.060 0.026 0.026
Momen Reaksi
0
50
100
150
200
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
% Gait Cycle
Betis
Kanan
Betis
Kiri
Gambar 5.26. Momen Reaksi Paha, Betis dan Kaki (Periode Stance)
Gaya Reaksi
290
295
300
305
310
315
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
% Gait Cycle
Betis
Kanan
Betis
kiri
Gambar 5.27. Gaya Reaksi Paha, Betis dan Kaki (Periode Stance)
Berdasakan grafik yang ditunjukkan oleh Gambar 5.26 dan 5.27, terlihat bahwa gaya reaksi
yang dihasilkan pada setiap fase berjalan adalah stabil. Masing-masing segmen tubuh pada setiap
fase berjalan memiliki gaya reaksi yang sama besar. Akan tetapi, gaya reaksi yang terjadi pada
betis kanan (prostesa) cenderung berbeda jauh, yaitu 310 N untuk betis kiri dan 295 N untuk betis
kanan. Artinya, usaha yang dilakukan oleh betis kanan saat berjalan tidak sebesar usaha betis kiri
dalam melakukan gerakan berjalan.
V.8.3. Analisis
Analisis evaluasi gerakan manusia saat berjalan berbasis Computer-Aided Design dilakukan
dengan menggunakan beberapa konsep penelitian sebelumnya terhadap pengujian 2 kasus.
V.8.3.1. Analisis Studi Kasus 1
Penelitian ini melakukan desain model manusia dengan memanfaatkan teknologi dalam
aplikasi desain berupa Computer-Aided Design (CAD) Solidworks 2004. Data untuk membentuk
model manusia berupa segmen tubuh manusia disimpan dalam file _.slprt. Data unutk model
manusia mengunakan data antropometri segmen tubuh orang normal (Vaughan, 1999), yang
Tabel 5.14. CG Kaki Kanan (Periode Stance)
51
terdiri dari: paha, betis, dan kaki, ditambah dengan data antropometri segmen tubuh pendukung
seperti: badan, tangan, lengan, dan kepala. Model manusia dibentuk dengan memasukkan input
berupa data antropometri manusia. Output berupa gambar/desain manusia yang ditampilkan pada
perangkat munak Solidwork 2004.
Pada penelitian ini, fase siklus berjalan hanya dilakukan selama periode berdiri (stance). Hal
itu menjadi pertimbangan karena pada umumnya setelah memasuki fase berayun, gaya yang
dilakukan adalah cenderung mendekati nol (Vaughan, 1999).
Gerak linier kinematik yang dilakukan oleh setiap segmen tubuh dari mulai paha, betis dan
kaki adalah cenderung mengikuti pola yang sama. Kecenderungan tersebut terjadi karena tidak
adanya perubahan letak pusat gravitasi yang dilakukan oleh setiap segmen tubuh pada setiap fase
berjalannya. Hal itu merupakan salah satu faktor pendukung ketika berjalan dalam keadaan
normal.
Gaya dan momen reaksi juga menunjukkan hasil yang sama, dimana gaya reaksi selama
proses berjalan adalah stabil setiap fasenya. Meskipun gaya reaksi yang terjadi adalah relatif
stabil selama fase berjalan, momen reaksi yang dihasilkan adalah berbeda pada setiap fasenya.
Terjadinya perubahan momen tersebut disebabkan karena adanya perubahan posisi kaki pada saat
berjalan. Hal itu membantu manusia mempertahankan posisinya selama dalam fase berjalan.
V.8.3.2. Analisis Studi Kasus 2
Pada penelitian ini, evaluasi gerakan manusia diterapkan pada orang dengan anggota tubuh
buatan. Segmen tubuh prostesanya adalah betis dan kaki bagian kanan. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data prostesa betis kanan, sedangkan data antropometri segmen tubuh
lainnya adalah data antropometri orang normal (Vaughan, 1999). Pembentukan model manusia
dan fase siklus berjalan yang diamati, sama seperti studi kasus sebelumnya.
Berdasarkan grafik dalam Gambar 5.27, gerak linier kinematik yang ditunjukkan dengan pola
perubahan posisi CG, segmen tubuh betis dan kaki menunjukkan pola yang berbeda. Perubahan
CG terjadi karena betis bagian atas maupun bagian bawah tidak meiliki joint segmen tubuh,
sehingga tidak terjadi gerak rotasi yang dilakukan oleh joint lutut maupun engkel. Hal itu
mengakibatkan setiap fase posisi joint engkel cenderung menurun, sehingga kaki pada saat
berpindah fase tidak berubah dinamis seiring pola/siklus berjalan.
Salah satu tugas kaki adalah sebagai penerima berat badan keseluruhan, dan saat berjalan kaki
memperoleh berat badan yang paling besar. Gaya dan momen reaksi yang dihasilkan oleh segmen
tubuh pada saat berjalan dipengaruhi oleh berat badan segmen tubuh maupun berat badan secara
keseluruhan.
Pada penelitian ini, gaya reaksi yang terjadi pada setiap segmen tubuh adalah berbanding
lurus setiap fasenya. Masing-masing segmen tubuh pada setiap fase berjalan memiliki gaya reaksi
yang sama besar. Akan tetapi, gaya reaksi yang terjadi pada salah satu segmen tubuh prostesa
cenderung berbeda jauh dengan segmen tubuh normal lainnya. Hal itu terjadi diakibatkan adanya
usaha yang dilakukan oleh segmen tubuh prostesa tidak sebesar usaha segmen tubuh normal pada
setiap fase berjalan.
Momen reaksi yang timbul antara kaki prostesa dengan kaki normal tidak seimbang. Selama
fase berjalan kaki prostesa tidak dapat mempertahankan kestabilan fase berjalan, karena kaki
prostesa tidak dapat menerima menumpu berat badan keseluruhan dengan sempurna. Artinya,
dibutuhkan adanya paksaan dari segmen tubuh normal lainnya untuk membantu/memindahkan
gaya gravitasi saat berjalan.
52
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian tahun pertama. Hasil yang telah
dicapai pada tahun pertama ini adalah:
• model berjalan,
• parameter segmen tubuh,
• model parameter antropometrik,
• biomekanika tubuh,
• objek desain prostesa yaitu prostesa kaki endoskeltal di bawah lutut.
Kesemua itu telah direalisasikan dalam bentuk prototipe pertama sistem CAD/CAM/CAE untuk
prostesa.
Hal yang masih harus dilaksanakan untuk menyempurnakan hasil tahun pertama ini
adalah melakukan uji coba dan perbaikan menggunakan contoh produk prostesa. Dengan contoh
produk prostesa akan diperoleh parameter prostesa, melaksanakan analisis teknis, fungsi, dan
estetika, sebagai bahan awal untuk masuk ke tahap perbaikan teknologi produksi.
53
DAFTAR PUSTAKA
1. Anggiasari, F.W., 2003, Pengembangan Prostesa Atas Lutut di Rumah Sakit Ortopedi
Profesor DR R.Soeharso Surakarta Dari Sudut Pandang Ergonomi, Skripsi, Jurusan
Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2. Blaya, J.A., 2000, Force-Controllable Ankle Foot Orthosis (AFO) to Assist Drop Foot Gait,
Thesis, Master of Science in Mechanical Engineering, Massachusetts Institute of
Technology.
3. Chaffin, D.B. and Gunnar B. J. Andersson., 1991, Occupational Biomechanics, John Wiley &
Sons, Inc, New York.
4. Crompton, R.H., Li, Y., McNamara, R.A., Wang, W. and Gunther, M.M. 1996, Segment
Inertial Properties of Primates: New Techniques for Laboratory and Field Studies of
Locomotion, American Journal Of Physical Anthropology 99547-570.
5. Damayanti, R.W., 2003, Perancangan dan Pengembangan Prothese Kaki Bagian Bawah Lutut
Dengan Metode Quality Function Deployment (QFD), Skripsi, Jurusan Teknik Industri,
Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
6. De Leva, P., 1996., Adjustments to Zatsiorsky-Suleyanov's Segment Inertia Parameters, J.
Biomech., vol. 29(9), pp.1223-1230.
7. Hamill, J. & Knutzen, K.M., 1995, Biomechanical Basis of Human Movement, Williams &
Wilkins, London.
8. Koopman, B., Grootenboer, H.J. and de Jongh, H.J., 1995, An Inverse Dynamics Model For
The Analysis, Reconstruction and Prediction Of Bipedal Walking, J. Biomechanics, Vol.
28, No. 11. pp. 1369-1376.
9. May, B.J., 1996, Amputations and Prosthetics: A case study approach, F.A. Davis Co.,
Philadelphia.
10. Nikolova, G., Stefanova, L., and Toshev, Y., 2005, 3D Model of Human Body Generated
within Pro/EngineerTM Enviorenment, Problem of Engineering Cybernetics and Robotics,
Bulgarian Academy of Science.
11. Riznanto, B. & Toha, I.S., 2003, Perancangan dan evaluasi stasiun kerja pemesinan berbasis
Computer-Aided Design (CAD), Proceedings The world of Automation 2003, Bandung
18-19 Desember, pp.B-1-42 – B-1-54.
12. Setyaningrum, 2006, Usulan Perbaikan Perancangan Medial Arch Support pada Sepatu
Ortopedi bagi Penderita Flat Foot dengan Menggunakan Analisis Biomekanik, Skripsi,
Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
13. Susmartini, S., Setyaningrum, A.Y., Toha, I.S., 2006, Perancangan Medial Arch Support
Sepatu Ortopedi Penderita Flat Foot dengan Menggunakan Analisis Biomekanik,
Prosiding Seminar Nasional Ergonomi dan K3 2006, Surabaya, 29 Juli.
14. Swilling, B.J., 2005, Human Walking Adaptations to Distal Limb Mass Disturbances:
Investigating Biomimetic Performance Objectives, Thesis, Master of Science in
Mechanical Engineering, Massachusetts Institute of Technology.
15. Thomas, R., et.al., 2006, Joint Forces and Moments Calculation for a 3D Whole Body Model
During Complex Movement, Biomechanics and Human Modeling Laboratory, Lyon –
France.
16. Vaughan C.L., Davis, B.L. & O’Connor, J.C., 1999, Dynamics of Human Gait, Kiboho
Publishers, South Africa.
17. Woolley, C.T., 1972, Segment Masses, Centers Of Mass, And Local Moments Of Inertia For
an Anthropometric Model Of Man, Development Of Skylab Experiment T-013
Crew/Vehicle Disturbances, Nasa Scientific And Technical Publications.
54
EXECUTIVE SUMMARY
PENGEMBANGAN PRODUK DAN PROSES
PEMBUATAN PROSTESA TANGAN DAN PROSTESA KAKI
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Isa Setiasyah Toha
I. PERMASALAHAN DAN TUJUAN PENELITIAN
Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso (RSOS) memiliki Instalasi Ortotik dan
Prostetik, yang merupakan pelopor unit produksi dalam pembuatan ortosa dan prostesa di
Indonesia. Proses pembuatan prostesa di Instalasi Ortotik dan Prostetik RSOS masih sangat
sederhana, yaitu berbasis handycrafting dan menggunakan teknologi proses manufaktur
konvensional. Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini adalah lamanya waktu penyesuaian
(perbaikan prostesa) sebelum pemakai merasa sesuai dengan prostesa yang dibuat. Sementara itu,
harga produk/komponen prostesa impor berkisar sekitar empat sampai dengan delapan kali harga
produk/komponen RSOS. Harga impor tersebut pada kisaran ratusan-ribu sampai jutaan rupiah.
Tujuan penelitian ini adalah pengembangan produk dan proses pembuatan prostesa.
Untuk tahun pertama, tujuan penilitian ini adalah: Otomasi proses desain prostesa kaki dan
tangan yang memanfaatkan teknologi CAD/CAM dalam bentuk computer aided engineeringprosthesis
(CAE-Prosthesis), yang ditujukan untuk mendapatkan desain prostesa kaki dan tangan
yang baik (accuracy, reproducibility dan simplicity), serta menurunkan waktu proses
perancangan/penyesuaian.
II. INOVASI IPTEKS
Inovasi dari penelitian ini adalah inovasi teknologi desain produk prostesa kaki dan
tangan (CAD/CAM, CAE-Prosthesis), inovasi teknologi proses produksi prostesa kaki dan tangan
yang memenuhi kriteria quality, cost, delivery time, dan flexibility, serta inovasi teknologi
produk/komponen prostesa kaki dan tangan yang berkualitas dan murah.
Perluasan cakupan penelitian ini adalah (i) keterlibatan industri komponen/alat kesehatan
dalam pembuatan produk/komponen prostesa selama program insentif ini berjalan, dan kemudian
diharapkan dapat berlanjut setelah program insentif ini selesai, (ii) peningkatan jumlah topik
tugas akhir yang merupakan pilahan-pilahan dari kerangka besar penelitian pada pengembangan
produk/komponen prostesa.
III. KONTRIBUSI TERHADAP PEMBANGUNAN
Secara garis besar, kontribusi yang diharapkan dari keberhasilan pengembangan yang
akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
8. Penguasaan teknologi produksi produk prostesa modern di Indonesia yang selama ini masih
merupakan barang impor.
9. Kemudahan bagi para penyandang cacat tubuh dalam hal memperoleh prostesa sehingga para
penyandang cacat tubuh dapat meningkatkan fungsi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari
10. Tumbuhnya industri di masyarakat sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi di Indonesia
IV. MANFAAT BAGI INSTITUSI
Penelitian ini melibatkan Kelompok Keahlian Sistem Manufaktur FTI-ITB serta Jurusan
Teknik Industri FT-UNS, yaitu: Laboratorium Sistem Produksi FT-UNS dan Laboratorium
Perancangan Produk FT-UNS.


Read More..
Suction Sock Suspension for Above-Knee Prostheses
Charles J. Dietzen, M.D.
Jerald Harshberger, C.P.
Rama D. Pidikiti, M.D.
Introduction

Presently, there are essentially three forms of prosthetic suspension utilized with above-knee (AK) amputation proximal to the femoral condyles: suction, silesian belt and hip joint with pelvic band. Suction may be used in combination with one of the other methods. (1)

Advantages of suction suspension include: greater freedom of movement, increased use of the remaining muscles, decreased pistoning, increased comfort due to elimination of belts and straps and better cosmesisThe classic suction socket is contraindicated in patients who have volume changes, poor balance, decreased manual dexterity and/or other systemic diseases that preclude the exertion needed to don the prosthesis, i.e., heart or lung disease (1). Therefore, the geriatric patient often is not a suitable candidate for this suspension system.

The silesian belt has the advantages of comfort with positive suspension, control of rotation and aid in adduction of the prosthesis. It is often used in combination with suction socket and can be hidden under clothing better than the hip joint with pelvic band. However, it is more cumbersome than the suction socket, allows for less prosthetic control and is less cosmetic than the suction socket (1). Because of the belt's placement, it is contraindicated in pregnancy and in patients who have had by-pass surgery or shunt placement in the remaining lower extremity (2).

The hip joint with pelvic band is useful for geriatric and obese patients because it gives positive suspension and better control of the prosthesis. The lever arm also helps absorb the lateral forces involved with short stumps (1). The drawbacks are the increased weight and cumbersome nature of the prosthesis that can lead to its decreased use.
Technique

In 1985, Ossurr Kristinsson described the ICEROSS, or Icelandic Roll-On Suction Socket, system. At that time, the second author began to experiment with silicone socks for suspension. As a result of the success of the Durr-Fillauer 3-S Suction Socket System introduced in 1988, he continued development of this idea for suspension of AK prostheses.

A silicone sock is fabricated using silicone gel and two or three nylon stockinettes laminated over an AK suction-type socket mold. A durable cloth strap with Velcro at the terminal end is laminated into the central portion of the distal end of the sock. This strap is pulled through the distal end of the socket and secured to the external surface of the prosthesis with a Velcro hook and pile system to aid in retention of the prosthesis (Figure 1) .

Another retention device utilized is a simple wooden wedge. Triangular wedges, 7 cm in length and 4 cm in width opposite the apex, are laminated into the silicone sock medially and laterally, parallel to one another at the approximate middle of the sock. The wedges then protrude through matching windows in the socket wall to provide suspension (Figure 2 and Figure 3 ). This mode of suspension is especially advantageous for geriatric patients due to the ease of donning and doffing. As the patient pushes the sock-covered stump into the socket, the wedges shape aid in alignment and lock into place for retention. The patient simply pushes in on the wedges to release the suspension and allow removal of the prosthesis.
Application

The true incidence of lower extremity amputation in the U.S. is not known. It is estimated that 30,000-110,000 lower extremity amputations are performed per year (3,4,5). Thirty-three thousand AK amputations were performed in acute care, nonfederal hospitals in 1984, according to the U.S. Department of Health and Human Services (5). The ratio of below-knee (BK) amputations to AK amputations was reported as 10:7 in one reference (4) and 1:1 in another (5). Seventy-five percent of acquired lower extremity amputations are caused by disease states. Diabetes and peripheral vascular disease account for the majority, especially in the patient population of 60 years and older (5). It has also been stated that 85 percent of AK amputations are secondary to vascular disease (1).

Only about one-fourth of the geriatric amputee population are functional prosthetic users, with perhaps another fourth becoming functional users secondary to refinements (1). Across all age groups, two-thirds of BK amputees are functional ambulators with prostheses while only 20 percent of AK amputees will walk. The number of functional ambulators drops to one in 15 in the geriatric AK amputee population (3). There would appear to be a large population of geriatric patients that could benefit from this improved device. Given the prevalence of peripheral vascular disease and diabetes in this population, many amputees have had bypass grafts or shunts placed in the remaining lower extremity, thus precluding the use of currently available appliances. In addition, patients with heart and lung disease, causing decreased exertional ability, would benefit by an improved appliance.
Evaluation of Technique

We are presently testing several prototypes and are submitting a grant proposal through the VA Medical Center in Birmingham, Alabama, for long-term evaluation. Fourteen silicone sleeves have been fabricated for seven different AK amputees. Four of the amputees lost their limbs secondary to vascular insufficiency, and the other three were traumatic amputees. Two of the four elderly gentlemen who lost their legs from poor circulation have low activity levels, and two are fairly active. The three traumatic amputees remain very active.

No significant problems have been encountered with donning, even in patients with compromised heart and/or lung function. There have been no reports of slippage, regardless of temperature or perspiration. In fact, some of the patients reported decreased perspiration with the new suspension sock. Two patients who had used other suspension means, one a hip joint and the other a thoracic elastic belt, commented that the suction suspension was more comfortable and allowed increased activity.

The one disadvantage encountered thus far involves significant volume fluctuation of the stump, as evidenced by the number of sleeves (fourteen) fabricated for seven AK amputees. The movement of the limb in swing phase with this suspension apparently causes "milking" of the distal soft tissues. This results in stump shrinkage which may easily be remedied by the addition of a sock; however, if the volume reduction is great, it may necessitate the fabrication of a new, smaller silicone sock. It is, therefore, recommended that volume reduction be maximized before the silicone sock is fabricated.

No additional maintenance, beyond that needed for other AK prostheses, has been required. The patients have required minimal instruction on proper alignment of the prosthesis for donning. The usual gait training is the only other instruction necessary.
Conclusion

The AK suction sock suspension appears to provide a very functional, durable means of suspending an AK prosthesis with the advantages of suction, while negating the need for good manual dexterity and increased exertion. This should be of benefit to the geriatric population in particular. The lack of a strap or belt would benefit pregnant women and persons with AK amputations who have undergone by-pass surgery or shunt placement of the remaining lower extremity.
Acknowledgements

The authors would like to thank Mrs. Betty Barrett for her efforts in producing this manuscript.


Charles J. Dietzen, M.D., is a third year resident, Department of Rehabilitation Medicine, University of Alabama at Birmingham, Birmingham, Alabama 35294.

Jerald Harshberger, C.P., is president and owner of Harshberger Prosthetics, 903 21st Street South, Birmingham, Alabama 35205. Phone number (205) 328-5347.

Rama D. Pidikiti, M.D., is Chief of Rehabilitation Medicine Service, VA Medical Center, Birmingham, Alabama 35233, and assistant professor, Department of Rehabilitation Medicine, University of Alabama at Birmingham, Birmingham, Alabama 35294. Phone number (205) 9334390.

References:
Mooney M, Quigley J. Above-knee amputations. Atlas of Limb Prosthetics, Surgical and Prosthetic Principles. American Academy of Orthopaedic Surgeons: CV Mosby Company, 1981:378-401.
Ayyappa E. Prosthetic prescription principles. Material submitted for masters' thesis and publication, 1988-89.
Dodson T. Assessment of healing potential. Lecture material delivered at the VA seminar, Management of the lower extremity amputee: a team approach to preservation and augmentation of function, September 12-15, 1988.
Friedmann L. Rehabilitation of the amputee. Rehabilitation Medicine. Goodgold J, ed. 1988:601.
Leonard Jr, I, Meier III, R. Prosthetics. Rehabilitation Medicine: Principles and Practice. DeLisa J, ed. 1988:330-331.
Read More..